GAZA - Kamar mayat rumah sakit (RS) terbesar di Gaza pada Kamis (12/10/2023) dilaporkan semakin penuh. Banyak jenazah terus berdatangan terus menerus setelah adanya serangan bom udara besar-besaran oleh Israel di wilayah yang memiliki penduduk 2,3 juta orang.
Dikutip dari PBSO News Hour, Dengan banyaknya warga Palestina yang terbunuh setiap hari dalam serangan Hamas yang belum pernah terjadi sebelumnya, petugas medis yang berada di daerah mengatakan bahwa mereka kehabisan tempat untuk meletakkan jenazah yang berasal dari serangan Israel terbaru atau dari reruntuhan bangunan.
Kamar mayat di rumah sakit Shifa di kota Gaza kini seperti kuburan, dikarenakan rumah sakit tersebut biasanya hanya menampung 30 jenazah saja dalam satu waktu. Namun karena adanya serangan baru-baru ini jenazah harus ditumpuk dan diletakkan di luar ruangan pendingin, seperti tempat parkir, tenda, dan tergeletak di atas semen yang terpapar langsung oleh sinar matahari.
“Kantong jenazah mulai berdatangan dan terus berdatangan dan sekarang menjadi kuburan,” kata Abu Elias Shobaki, perawat di Shifa, tentang tempat parkir. “Saya lelah secara emosional dan fisik. Saya hanya harus menahan diri untuk tidak memikirkan betapa buruknya keadaan yang akan terjadi.”
Sudah hampir seminggu setelah militan Hamas melintasi pagar pemisah antara Israel dan Palestina yang dijaga ketat dan menewaskan lebih dari 1.200 warga Israel dalam serangan brutal itu.
Israel sudah bersiap menghadapi kemungkinan invasi darat ke Gaza untuk pertama kalinya setelah hampir satu dekade dan serangan darat ini kemungkinan bisa meningkatkan korban jiwa warga Palestina, yang telah melalui empat perang berdarah terakhir antara Israel dan Hamas.
Rumah sakit di Gaza saat ini kekurangan pasokan, dan Israel menanggapinya dengan menghentikan aliran air langsung dari perusahaan air nasional, memblokir aliran listrik, makanan dan bahan bakar ke wilayah pesisir tersebut.
Menurut Ashraf Al-Qidra juru bicara Kementerian Gaza, Gaza berada dalam situasi kritis, hal ini karena ambulans untuk mengangkut jenazah dan korban luka-luka tidak bisa dijangkau dan korban yang mengalami luka-luka tidak mendapatkan perawatan yang intensif serta jenazah-jenazah tidak bisa dibawa ke kamar mayat.
Penampilan garis-garis kantung jenazah berwarna putih, dengan telapak kaki telanjang mencuat dari satu kantong, dan lengan yang berlumuran darah dari kantong lainnya membuat skala dan intensitas pembalasan Israel terhadap Gaza menjadi sangat lega.
Pejabat rumah sakit meminta anggota keluarga yang terkena dampak untuk mengidentifikasi jenazah orang yang mereka cintai, dan beberapa dari mereka mengintip ke dalam kantong mayat, lalu menangis atau menjerit.
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, serangan Israel telah meratakan seluruh lingkungan, menewaskan lebih dari 1.400 orang, 60 persen di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Saat ini lebih dari 340.000 mengungsi, 15 persen pengungsi adalah penduduk Gaza.
Kementerian Dalam Negeri Gaza mengatakan pada Kamis (12/10/2023), Israel meluncurkan serangan udaranya ke kamp pengungsi Jalabiya, menewaskan puluhan orang termasuk 45 anggota keluarga besar.
Pihak militer Israel mengatakan bahwa pihaknya menyerang infrastruktur militan Hamas bertujuan untuk menghindari adanya korban sipil, namun hal itu dibantah oleh warga Palestina.
Serangan tersebut telah memakan 6.000 orang terluka dan membebani fasilitas pelayanan kesehatan di Gaza karena persediaan medis yang semakin berkurang.
“Dalam keadaan apa pun, tidak mungkin melanjutkan pekerjaan ini,” kata Mohammad Abu Selim, direktur umum rumah sakit Shifa. “Para pasien sekarang berada di jalanan. Yang terluka ada di jalanan. Kami tidak dapat menemukan tempat tidur untuk mereka,” tambahnya.
Dengan terbatasnya sumber daya, klinik kekurangan staf dan ambulans membutuhkan waktu berjam-jam untuk membawa korban yang membutuhkan perawatan medis, karena serangan udara juga telah merusak jalan-jalan.
Tidak hanya rumah sakit Shifa saja, saat pemboman yang lebih parah menghantam kamp pengungsi Shati di utara Kota Gaza di sepanjang pantai Mediterania, gelombang baru korban luka berdatangan ke kompleks rumah sakit. Balita dengan luka memar dan perban, gadis-gadis muda dengan wajah berlumuran darah.
Akibatnya unit perawatan intensif Shifa penuh, beberapa orang berbaring di koridor rumah sakit, menempel ke dinding untuk memberi ruang bagi petugas medis.
“Saya telah pergi ke banyak tempat dan melihat kengerian dan penembakan. Bukan tingkat kegilaan seperti ini,” kata jurnalis foto lokal berusia 36 tahun Attia Darwish ketika dia menyaksikan orang-orang yang terluka masuk ke rumah sakit.
Di antara mereka yang tewas dalam serangan di kamp pengungsi Shati adalah Yasser al-Masri, yang jenazahnya tiba bersama istri dan bayi perempuannya. Petugas medis menyebarkan foto al-Masri dan putrinya, berlumuran darah di dalam kantong jenazah yang sama.
Petugas medis tersebut mengunggahnya di Facebook dengan caption saya hanya memiliki waktu beberapa jam sebelum telepon saya mati karena tidak ada sumber listrik disana, dan tidak ada cahaya di malam hari kecuali bulan, saya meminta maaf dan saya memaafkan kalian semua.
Satu-satunya pembangkit listrik di Gaza kehabisan bahan bakar pada hari Rabu. Shifa dan rumah sakit lain berusaha mati-matian untuk menghemat bahan bakar diesel yang tersisa di generator cadangan mereka, mematikan lampu di semua departemen rumah sakit kecuali ruang perawatan intensif, ruang operasi, dan stasiun oksigen.
Abu Selima, direktur Shifa, mengatakan bahan bakar rumah sakit terakhir akan habis dalam tiga atau empat hari.
Ketika hal ini terjadi, “bencana akan terjadi dalam waktu lima menit,” kata Naser Bolbol, kepala departemen neonatal di rumah sakit tersebut, mengutip semua peralatan oksigen yang menjaga bayi tetap hidup.
Otoritas rumah sakit mengatakan tidak akan ada lagi listrik yang tersisa untuk mendinginkan korban meninggal.
(Susi Susanti)