Barisan tenda putih berdiri berjejer di atas lapangan parkir yang berdebu. Anak-anak tampak duduk di bawah naungan, memainkan batu dengan malas-masalan. Para pria terlihat saling potong rambut. Para tetangga yang baru saling mengenal juga tampak menunggu di luar untuk menerima hidangan berupa beberapa bongkah roti dan kaleng tuna atau kacang, bantuan dari PBB.
“Potret tersebut adalah sesuatu yang tidak dapat diterima oleh dunia Arab,” kata Daoud Kuttab, seorang jurnalis Palestina di Yordania sebagaimana dilansir VOA Indonesia.
Pemandangan warga Palestina yang terburu-buru mendirikan tenda PBB mengingatkan kita pada insiden eksodus massal yang disebut sebagai Nakba, atau “bencana” oleh warga Palestina. Pada bulan-bulan sebelum dan selama perang 1948, diperkirakan 700.000 warga Palestina melarikan diri atau diusir dari wilayah yang sekarang menjadi wilayah Israel. Banyak yang berharap dapat kembali ketika perang berakhir.
Tujuh puluh lima tahun kemudian, tenda-tenda sementara yang tersebar di Tepi Barat, Gaza, dan negara-negara Arab tetangga pada akhirnya menjadi rumah permanen yang dibuat dari batako.
“(Peristiwa) 1948 langsung terlintas dalam pikiran ketika warga Palestina di Gaza diminta untuk mengungsi. Hal itu otomatis terlintas dalam pikiran ketika Anda melihat gambar-gambar (tenda) tersebut,” kata Rashid Khalidi, seorang profesor studi Arab di Universitas Columbia. “Para penulis Palestina telah menanamkan hal ini ke dalam kesadaran Arab.”