Al-Jadba menyampaikan bahwa empat bayi dari keluarganya lahir di kamp pengungsian sejak awal perang: pertama-tama, menantu perempuannya melahirkan seorang anak perempuan, diikuti oleh kelahiran seorang anak laki-laki dari saudara iparnya, dan terakhir, lahirnya Alma dan Salma dari menantu perempuannya yang lain.
Ia mengatakan sulit untuk memberi makan mereka semua. Seluruh keluarga merasakan kelaparan.
“Tidak ada nutrisi (untuk ibu-ibu), tidak ada makanan untuk mereka makan, bagaimana mereka bisa menyusui? Tidak ada yang bisa mereka makan. Setiap hari saya memberi mereka (tanaman herbal) timi, tidak ada lagi yang bisa mereka makan,” tukasnya sebagaimana dilansir dari VOA Indonesia.
Keluarga tersebut pertama kali pindah dari Kota Gaza ke Khan Younis, kota utama di Gaza selatan. Si kembar lahir di sana, di rumah sakit Nasser. Kemudian, ketika pasukan Israel memperluas serangan darat mereka ke selatan, keluarga tersebut mengungsi lagi ke Rafah.
Tidak Makan Banyak
“Harapan kami adalah anak-anak ini dilahirkan di tempat yang aman, tanpa serangan udara, tanpa perang, tanpa pengungsian yang dialami anak-anak ini,” kata al-Jadba sambil menggendong bayi perempuan tersebut.
Salah satu bayi tersebut tertidur lelap, mengenakan pakaian tidur putih berhiaskan kupu-kupu warna-warni dan terbungkus selimut berwarna biru kehijauan. Bayi lainnya mengenakan pakaian tidur putih polos dan selimut merah muda, memandang sekelilingnya dengan mata besar, mengayunkan tangan kecilnya dan melihat ke arah neneknya ketika dia berbicara.
“Seharusnya mereka dilahirkan di tempat yang aman, di ruangan yang bersih, untuk dimandikan. Kesalahan apa yang dilakukan anak-anak ini?” kata sang nenek.