WASHINGTON - Pembunuhan tiga tentara Amerika Serikat (AS) dan puluhan orang lainnya yang terluka pada Minggu (28/1/2024) oleh militan yang didukung Iran menambah tekanan politik pada Presiden Joe Biden untuk memberikan serangan langsung terhadap Iran. Biden seolah enggan melakukan serangan karena takut memicu perang yang lebih luas.
Pilihan respons Biden dapat berkisar dari menargetkan pasukan Iran di luar hingga bahkan di dalam Iran, atau memilih serangan balasan yang lebih hati-hati hanya terhadap militan yang didukung Iran yang bertanggung jawab.
Pasukan Amerika di Timur Tengah telah diserang lebih dari 150 kali oleh pasukan yang didukung Iran di Irak, Suriah, Yordania dan lepas pantai Yaman sejak perang Israel-Hamas meletus pada bulan Oktober.
Namun hingga serangan pada Minggu (28/1/2024) terhadap sebuah pos terpencil yang dikenal sebagai Menara 22 dekat perbatasan timur laut Yordania dengan Suriah, serangan tersebut belum menewaskan tentara AS atau melukai banyak orang. Hal ini memberi Biden ruang politik untuk melakukan pembalasan AS, sehingga menimbulkan kerugian bagi pasukan yang didukung Iran tanpa mengambil risiko perang langsung dengan Teheran.
Biden mengatakan AS akan merespons, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.
Partai Republik menuduh Biden membiarkan pasukan Amerika menjadi sasaran empuk, menunggu hari ketika pesawat tak berawak atau rudal akan menghindari pertahanan pangkalan. Mereka mengatakan hari itu tiba pada Minggu (28/1/2024), ketika sebuah drone serangan satu arah menyerang dekat barak pangkalan pada pagi hari.
Sebagai tanggapan, mereka mengatakan Biden harus menyerang Iran.
“Dia meninggalkan pasukan kita sebagai sasaran empuk,” kata Senator AS dari Partai Republik, Tom Cotton.