Anggiat mengungkapkan bahwa sekolah yang ia dirikan secara cuma-cuma untuk anak-anak dari kelompok marjinal tersebut pernah tergusur di era sebelum Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono maupun Gubernur Anies Baswedan.
"Dulu sempat dibongkar Pas Ahok. Ada tiga sekolah dibongkar," kenang Anggiat dengan wajah sedih.
Ia menyebutkan, kebanyakan pelajar adalah warga sekitar Kolom Tol Jelambar. "Bulan 1-3 sempat masuk di sekolah mereka. Ada bulan ke empat, mereka enggak sekolah lagi terlalu mahal ongkos. Mereka sekolah di sini tidak dipungut bayaran. Kami juga ada mengajar seorang anak yang disabilitas juga," terangnya.
Ia menyebutkan bahwa kelas kecil di sekolah kolong tol petak seng Jelambar dimulai jam 07.30 WIB sampai jam 10.15 WIB. Sedangkan untuk waktu kedua kelas besar dari jam 10.15 WIB sampai jam 13.00 WIB.
Anggiat mengungkapkan biasanya yang dibutuhkan oleh pelajar adalah alat tulis saat masuk tahun pembelajaran baru.
Ellen (50) salah satu penghuni kontrakan di kolong tol petak seng menyebutkan bahwa anaknya bersekolah di kolong tol selama setahun terakhir.
"Merasa sangat terbantu dengan adanya sekolah ini. Anak saya TK sudah satu tahun sekolah di sini dan tumbuh kembangnya sangat baik," kata Ellen.
Meskipun dalam kondisi ekonomi serba terbatas, Ellen mengaku tetap berjuang untuk anak-anaknya agar mendapat gizi dan pendidikan yang baik.
"Saya baru tahun 2023 ini ngontrak di sini. Suami kerja serabutan, cuman karena rezeki sedang tidak baik, kami pindah dari kontrakan rumah ke kolong tol ini," cerita Ellen.
Ellen menyebutkan hunian kontrakan yang ia tempati di bawah kolong tol berukuran 5x4 meter dengan harga sewa sekitar Rp300 ribu per bulan.
Suami Ellen seorang buruh harian lepas yang kadang bekerja saat ada panggilan proyek namun kadang menganggur di kala sepi panggilan.
Sementara itu warga lainnya, Samsang (47) Melanjutkan bahwa ada ratusan lebih Kepala Keluarga yang bermukim di bawah Kolong Tol dekat area Jelambar dan Penjaringan.
"Ada yang ngontrak. Sebulan harganya Rp300 ribu. Kalau sama listrik Rp50 ribu. Karena ini listrik ngambil jalur dari seberang," kata pria yang sehari-hari mencari nafkah dengan servis dan cuci AC tersebut.
Ia menjelaskan bahwa alasan tinggal di kolong tol karena warga tidak memiliki cukup uang untuk mengkontrak ataupun pindah ke rumah susun yang biaya sewanya cukup mahal.
"Di sini kalau pas mau Natalan dan Lebaran kita sering mendapat bantuan dari dermawan. Tapi ya kalau bantuan dari pemerintah belum," aku Samsang.
Samsang menyebutkan biasakan pasca Idul Fitri banyak warga pendatang yang datang menyewa kontrakan petakan di kolong tol.
"Ya karena memang hidup di Jakarta itu sangat keras, kalau tidak punya rumah saudara untuk menumpang ya terpaksa tinggal di daerah dengan harga sewa murah di daerah padat, kumuh, ataupun di lokasi yang kurang layak seperti ini. Tapi kami tetap bersyukur dan bersemangat mencari rejeki untuk bisa menyambung hidup demi anak-anak," pungkasnya.
(Fakhrizal Fakhri )