Pendidikan di Tengah Ledakan Ilmu Pengetahuan

Opini, Jurnalis
Jum'at 03 Mei 2024 22:16 WIB
Edi Lukito (Dok Pribadi)
Share :

SETIAP ganti Menteri, ganti kurikulum” itu adalah secuil kritik atas dunia pendidikan di Indonesia. Sejak merdeka, Indonesia memang sudah beberapa kali mengganti kurikulum pendidikan.

Pada tahun 1947 adalah awal Indonesia menggunakan kurikulum sendiri yang berorientasi pada semangat patriotisme dan nasionalisme. Waktu seiring berjalan, kurikulum itu berubah pertama kali pada era orde lama yaitu tahun 1952 dan 1964.

Saat orde lama, terjadi beberapa kali perubahan kurikulum yaitu tahun 1968, 1975, 1984, dan 1994. Setelah reformasi, kurikulum kembali diubah pada tahun 2004, 2006, 2013. Kemudian, pada tahun 2022 lahir kurikulum pendidikan baru di Indonesia, dengan sebutan kurikulum merdeka.

Gonta-ganti kurikulum tersebut, menurut beberapa kritikus adalah penyebab belum adanya arah yang jelas bagi pendidikan Indonesia. Ketiadaan arah ini, menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia masih kalah jauh dengan negara lainnya di Asia Tenggara, terlebih di dunia.

Menurut hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) 2022, Indonesia berada di peringkat 68 dari 81 negara di dunia. Dibanding negara Asia Tenggara, Indonesia berada pada tiga terbawah. Hanya lebih unggul dari Filipina dan Kamboja.

Dalil lainnya, menurut para kritikus, seharusnya kurikulum di Indonesia terlebih dahulu dirasakan manfaatnya dan impaknya oleh seluruh lapisan masyarakat, baru kemudian diadakan evaluasi. Tujuannya, agar meminimalisir ketimpangan, yang juga menjadi masalah lama dalam dunia pendidikan kita.

Namun, perubahan kurikulum yang cukup masif terjadi di Indonesia, tidak mungkin dilakukan oleh pemerintah secara serampangan dan tanpa tujuan. Pasti terdapat alasan dan tujuan pemerintah melakukan perubahan kurikulum, terutama di era kiwari ini. Tentunya terdapat alasan politis.

Terlepas dari itu, terjadinya perubahan kurikulum secara terus-menerus merupakan salah satu respon atas fenomena ledakan ilmu pengetahuan.

Fenomena ledakan ilmu pengetahuan ini terjadi setalah perang dunia kedua. Saat itu negara-negara di dunia sibuk mengurusi negaranya sendiri, dengan meningkatkan pendidikan yang dianggap sebagai investasi dan kekuatan masa depan. Selang beberapa puluh tahun kemudian, upaya itupun membuahkan hasil yang baik.

Negara-negara yang berinvestasi sepenuhnya kepada pendidikan seperti China, Jepang, dan Singapura saat ini telah menjadi negara maju. Investasi yang masif ini, tidak hanya mengantarkan negara-negara pelaksananya maju, tapi juga ikut merubah tatanan kehidupan dunia saat ini. Karena investasi pada pendidikan itu menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat.

Selain karena kesadaran pentingnya pendidikan, ledakan ilmu pengetahuan juga terjadi akibat rancangan sistem pendidikan modern. Pada sistem pendidikan modern, terutama pendidikan tinggi, melakukan riset adalah syarat untuk mendapatkan gelar akademik.

Para sarjana dan dosen-dosen pun masih dibebankan untuk terus melakukan riset yang diartikan sebagai penemuan-penemuan ilmu pengetahuan baru. Sehingga secara terus-menurus—apabila sistem seperti ini masih lestari—ledakan ilmu pengatahuan akan semakin besar.

Dampak yang ditimbulkan oleh fenomena ledakan ilmu pengetahuan ini, bisa dibagi dua: Pertama adalah dampak bagi iklim dunia pendidikan. Ledakan ilmu pengatahuan ini menyebakan semakin banyak mata pelajaran baru yang diajarkan di sekolah.

Pada perguruan tinggi, pembukaan fakultas dan program studi baru terus dilakukan. Bahkan mata kuliah yang harus diajarkan pada satu jurusan juga ikut bertambah. Sehingga saat ini, kurikulum yang sejak dulu dianggap sudah afdal, tiba-tiba tidak lagi memuaskan dari sisi ide pengajaran. Sebab ide tentang apa yang harus diajarkan, terus mengalami perubahan.

Hal ini kemudian melahirkan pertanyaan. Apa yang harus diajarkan kepada siapa, di dalam situasi yang mana isi pengetahuan itu sendiri mengalami perubahan setiap dasawarsa yang belum pernah dikenal sebelumnya?

Secara fundamental, keadaan inilah yang menjadi dasar dari krisis nilai-nilai pendidikan. Selain itu, masalah lain yang ikut ditimbulkan adalah kesukaran dalam pengorganisiran satu mata pelajaran yang isinya makin bertambah banyak; masalah itu meliputi perbaikan ujian terus-menerus, penulisan kembali buku mata pelajaran dan melatih kembali para guru.

Kedua adalah dampak bagi iklim dunia kerja yang turut berimpak pada tujuan pendidikan. Saat ini kita saksikan ledakan ilmu pengatahuan menyebabkan perkembangan pada dunia kerja, baik itu dari segi jenis-jenisnya, persayaratannya, maupun tuntutan-tuntutannya. Akibatnya kini, tujuan pendidikan menjadi semakin tidak manusiawi. Pendidikan hanya sebatas dijadikan alat untuk meraih pekerjaan dan tuntutan zaman.

Pragmatisme pendidikan yang disebabkan oleh adanya tuntutan dunia kerja, yang lahir dari ledakan ilmu pengetahuan, telah mengubah orientasi pendidikan yang membebaskan manusia menjadi pendidikan yang memenjarakan manusia. Sebab, praktik pendidikan apabila berkiblat pada tuntutan dunia kerja, maka isinya hanya sekadar menjadi tempat pelatihan peserta didik agar mempunyai kompetensi atau keterampilan tertentu, untuk kemudian dipekerjakan di korporasi milik para oligarki.

Paulo Freire, seorang teoritikus yang berpengaruh di dunia, mengungkapkan ketidaksetujuannya pada sistem pendidikan seperti itu. Baginya, pendidikan adalah upaya untuk membantu peserta didik mengetahui realitas dan bagaiman realitas itu dibentuk. Ini mengandaikan sebuah situasi di mana guru dan siswa sama-sama belajar, sama-sama memiliki subjek kognitif, selain sama-sama memilki perbedaan.

Praktik pendidikan yang sekadar menjadi tempat pelatihan keterampilan, bertentang dengan tujuan pendidikan yang dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Indonesia). Tujuan pendidikan, yang paling penting, bagi beliau adalah terbentuknya karakter dan budi pekerti yang baik, baru kemudian kecerdasan otak dan keterampilan, dan terakhir kesehatan tubuh.

Walakhir, ledakan ilmu pengetahuan yang terjadi saat ini, menyebabkan pendidikan di dunia modern semakin berkembang variatif dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya.

Ledakan ilmu pengetahuan ini memaksa negara-negara berkembang untuk beradaptasi dengan mencari format kurikulum pendidikan yang pas, sesuai kultur negara itu dan mampu bersaing di kancah global. Kurikulum pendidikan yang mampu menyalakan pelita, bukan sekadar untuk mengisi bejana. Selamat Hari Pendidikan Nasional. Tabik! 

Oleh Edi Lukito

(Salman Mardira)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya