Sejarah Berdarah Rafah, Benteng Terakhir Rakyat Palestina

Susi Susanti, Jurnalis
Selasa 07 Mei 2024 16:48 WIB
Sejarah berdarah Rafah, benteng terakhir rakyat Palestina (Foto: UPI)
Share :

RAFAH - Rafah dikenal sepanjang sejarah sebagai gerbang selatan menuju Palestina. Sebelum blokade Israel selama bertahun-tahun, jalur ini berfungsi sebagai satu-satunya penghubung Gaza dengan dunia luar.

Menyusul “penarikan” Israel dari Gaza pada tahun 2005 dan terpilihnya Hamas, Penyeberangan Rafah ditutup oleh Israel dan Mesir, sehingga menutup Jalur Gaza dari semua sisi.

Rafah memiliki kurang dari seribu penduduk selama Mandat Inggris. Ketika Nakba terjadi, pengungsian massal warga Palestina pada saat berdirinya Israel, ribuan warga Palestina yang terlantar membanjiri kota perbatasan yang kecil dan terpencil, meningkatkan jumlah penduduknya hingga tiga kali lipat dalam semalam dan menjadikan kota tersebut sebagai kamp pengungsi yang besar.

Namun Nakba hanyalah permulaan. Seringkali setelah tahun 1948, pasukan Israel menyerbu kamp-kamp Rafah, membantai sejumlah pengungsi dan menghancurkan rumah mereka.

Dikutip Jacobin, pada tanggal 12 November 1956, selama pendudukan pertama Israel di Gaza, pasukan Israel menyerbu kamp-kamp pengungsi di Rafah, mengumpulkan penduduk laki-laki, dan membunuh sedikitnya 111 orang dengan darah dingin. Pertumpahan darah tersebut, yang dikenal sebagai Pembantaian Rafah, digambarkan oleh Palang Merah sebagai ‘adegan teror.’

Sekitar 1.200 warga sipil, dari total populasi 330.000 jiwa, terbunuh di seluruh Jalur Gaza; ratusan tahanan dieksekusi dengan cepat. Jenazah para korban dibuang di distrik Tell Zurab, sebelah barat Rafah, di mana para keluarga harus mengambil risiko saat jam malam untuk mengambil jenazah orang-orang yang dicintai dan menguburkan mereka, meskipun sebagian besar penguburan dilakukan tanpa identifikasi. Skala pembantaian tersebut begitu mengerikan sehingga kepala Observatorium PBB menafsirkan kekejaman Israel sebagai upaya untuk memusnahkan pengungsi Gaza.

Selama perang tahun 1967, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) merebut Rafah bersama dengan Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza, memulai pendudukan Israel yang kedua dan selama beberapa dekade di Gaza. Populasi Rafah hampir 55.000 jiwa, dan hanya 11.000 jiwa yang tinggal di Rafah. Pada tanggal 9 Juni, tentara Israel melibas dan meledakkan sekitar 144 rumah di kamp pengungsi Rafah, menewaskan puluhan warga. Hal ini menandai dimulainya kampanye pembersihan etnis yang panjang dan berkelanjutan.

Pada musim panas 1971, tentara Israel di bawah pimpinan Ariel Sharon menghancurkan lebih dari lima ratus rumah di Rafah ketika buldoser menerobos kamp-kamp padat penduduk untuk membuat jalan patroli yang lebar bagi pasukan Israel. Penghancuran ini, yang merupakan bagian dari upaya Israel untuk “menipiskan” Jalur Gaza, menyebabkan hampir empat ribu orang mengungsi dari Rafah, banyak di antaranya pindah ke Sinai.

Untuk memastikan pengungsian permanen warga Palestina dari Rafah, Israel mendirikan kamp pengungsi Brazil dan Kanada, satu di selatan Rafah dan satu lagi di seberang perbatasan di Sinai. Kamp-kamp baru tersebut, yang namanya mirip dengan pengasingan yang menyakitkan, dinamai sesuai nama pasukan penjaga perdamaian PBB dari kedua negara yang ditempatkan di sana. Untuk menerima rumah baru, para pengungsi harus melepaskan hak mereka untuk kembali, kewarganegaraan, dan kepemilikan, menyerahkan harta benda mereka di kamp Rafah, dan membayar biaya militer.

Perdamaian terbukti sama tragisnya bagi Rafah. Pada tahun 1979, Israel dan Mesir menandatangani perjanjian perdamaian Camp David, yang mengembalikan Sinai ke kendali Mesir. Perbatasan baru Gaza-Mesir dibuat di kota Rafah, sehingga ketika Israel menarik diri dari Sinai tiga tahun kemudian, Rafah terpecah menjadi wilayah Mesir dan Gaza, memisahkan keluarga dan harta benda dengan pembatas kawat berduri.

Inti kota dihancurkan oleh Israel dan Mesir untuk menciptakan zona penyangga yang diperluas. Banyak rumah dan kebun dihancurkan oleh perbatasan baru tersebut, dihancurkan dan dibuldoser karena alasan keamanan. Rafah menjadi salah satu dari tiga perlintasan perbatasan antara Mesir dan Israel. Untuk mengantisipasi pengungsi yang terpaksa meninggalkan Rafah, Mesir kini membangun sebuah kamp konsentrasi di bagian timur Gurun Sinai, sebuah ‘zona keamanan terisolasi’ yang akan berfungsi sebagai zona penyangga tambahan dengan Gaza. Tempat ini dikelilingi oleh tembok setinggi tujuh meter yang membentang dari Rafah hingga Laut Mediterania.

(Susi Susanti)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya