JAKARTA – Upaya China dalam menghadapi Filipina dalam sengketa di Laut Cina Selatan dianggap telah memperlihatkan pergeseran ke arah tindakan berbahaya. Hal ini terlihat dari skandal penyadapan oleh sejumlah diplomat Negeri Tirai Bambu terhadap sekelompok pejabat Filipina baru-baru ini, dan pembocoran transkrip percakapan tersebut, yang menimbulkan keributan politik.
Kasus terbaru ini mendapat kecaman dari pejabat Filipina yang menyebutnya sebagai pelanggaran mencolok terhadap protokol dan konvensi diplomatik. Ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya praktik penipuan, campur tangan, dan intimidasi oleh Beijing di Fiilpina.
Penasihat Keamanan Nasional Filipina Eduardo Año tidak berbasa-basi, dan menyatakan bahwa diplomat China yang terlibat dalam 'operasi pengaruh dan campur tangan jahat' harus segera diusir dari negara tersebut, demikian dilansir The Hong Kong Post, Selasa, (11/6/2024).
Seruannya Ano menunjukkan kemarahan yang semakin meningkat di Manila dalam menghadapi penghinaan tanpa henti dari CCP terhadap kedaulatan Filipina.
Salah satu inti dari ketegangan kedua negara berkaitan dengan perairan sengketa Laut Cina Selatan di sekitar Ayungin Shoal. Filipinanya menyebutnya Second Thomas Shoal, sementara oleh China disebut Ren'ai Jiao di dalam "sembilan garis putus-putus" yang dinilai komunitas global tidak berkekuatan hukum.
Second Thomas Shoal telah menjadi titik api terbaru dalam upaya agresif Partai Komunis China (CCP) dalam memperkuat kendali atas seluruh Laut China Selatan melalui intimidasi dan pemaksaan terhadap negara-negara tetangganya yang lebih kecil.
Rekaman transkrip yang bocor dan direkayasa tersebut diduga merujuk pada beberapa "kesepakatan rahasia" yang meragukan atas misi pasokan ulang rutin Filipina ke pos terdepannya di Ayungin Shoal. Namun, seperti yang dinyatakan dengan tegas oleh para pejabat tinggi Filipina, tidak ada perjanjian semacam itu, yang menggarisbawahi kecenderungan CCP dalam membuat disinformasi guna menabur perpecahan dan perselisihan.
Fase terbaru ketegangan ini mengungkap seberapa seriusnya China dalam upaya memajukan ambisi hegemoniknya. Bahkan ketika kapal penjaga pantai China telah didokumentasikan menembakkan meriam air ke kapal-kapal Filipina, yang melukai personel mereka, CCP menggunakan operasi psikologis ofensif melalui jajaran diplomatiknya. Tindakan semacam itu tidak hanya melanggar hukum Filipina, tetapi juga merendahkan prinsip itikad baik dan rasa saling menghormati yang diharapkan dari misi diplomatik asing.
Strategi CCP jelas, yaitu melemahkan tekad Filipina dengan menciptakan jurang pemisah antara pemerintah dan rakyatnya. Dengan menyebarkan kebohongan tentang penyerahan hak maritim, Beijing berharap dapat memicu keresahan dalam negeri yang dapat memaksa Manila mundur dari mempertahankan klaimnya yang sah. Taktik sinis ini harus ditolak sepenuh hati.
Laporan yang muncul tentang potensi aktivitas pembangunan pulau oleh China di dekat Escoda atau Sabina Shoal, hanya 75 mil laut dari Pulau Palawan di Filipina, juga sama mengganggunya. Pembuangan karang yang hancur menunjukkan pola tidak menyenangkan dan berulang – transformasi terumbu karang secara bertahap dan berbahaya untuk kemudian menjadi lokasi berdirinya pangkalan militer. Strategi 'salami slicing' ini, yang dikuasai Beijing di Kepulauan Spratly dan Paracel, kini mengancam untuk merambah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Filipina.
Agenda ekspansionis CCP di Laut Cina Selatan bertentangan dengan hukum internasional, termasuk putusan pengadilan arbitrase tahun 2016 yang menghancurkan dasar hukum untuk klaim "sembilan garis putus-putus" yang tak berdasar. Alih-alih menghormati keputusan mengikat secara hukum, Beijing justru mengintensifkan pengerahan milisi maritim dan memperkuat pertahanan di pos-pos militernya.
Bagi angkatan laut Indo-Pasifik, termasuk Amerika Serikat (AS) dan para sekutunya, kondisi ini sangat mengkhawatirkan. Diperkirakan sepertiga dari pengiriman global melintasi Laut China Selatan setiap tahun. Menyerahkan kendali kepada otoritarianisme Beijing yang berubah-ubah akan menimbulkan kerugian ekonomi yang serius sekaligus merusak kebebasan navigasi yang mendasari keamanan maritim.
Merupakan kewajiban masyarakat internasional untuk dengan tegas mencela taktik licik CCP yang merusak norma-norma yang berlaku. Tekanan ekonomi, perang hukum, dan kehadiran angkatan laut yang kuat semuanya harus dimanfaatkan untuk menghilangkan Beijing dari perluasan wilayahnya. Cenderung diam bukanlah suatu pilihan.
Sementara itu, Filipina harus tetap teguh dalam menegaskan kedaulatan, hak, dan yurisdiksinya yang sah. Upaya CCP untuk mengintimidasi melalui tipu daya harus dihadapi dengan front persatuan - pemimpin dan masyarakat harus bersatu melawan campur tangan jahat Beijing di setiap kesempatan. Masyarakat Filipina dari semua golongan harus dapat melihat tipu daya dan kepalsuan CCP.
(Susi Susanti)