WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) pada Kamis (27/6/2024) mengeluarkan sanksi baru yang menargetkan Iran sebagai tanggapan terhadap eskalasi nuklir yang berkelanjutan.
“Selama sebulan terakhir, Iran telah mengumumkan langkah-langkah untuk memperluas program nuklirnya dengan cara yang tidak memiliki tujuan damai yang dapat dipercaya,” terang Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dalam sebuah pernyataan.
“Kami tetap berkomitmen untuk tidak membiarkan Iran memperoleh senjata nuklir, dan kami siap menggunakan seluruh elemen kekuatan nasional untuk memastikan hasil tersebut,” lanjutnya.
Misi Iran untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Tindakan pada Kamis (27/6/2024) tersebut menjatuhkan sanksi terhadap tiga perusahaan yang berbasis di Uni Emirat Arab (UEA) yang dituduh AS terlibat dalam pengangkutan minyak bumi atau produk petrokimia Iran, serta 11 kapal terkait.
Awal bulan ini, negara-negara kaya Kelompok Tujuh (G7) memperingatkan Iran agar tidak melanjutkan program pengayaan nuklirnya dan mengatakan mereka akan siap menerapkan langkah-langkah baru jika Teheran mengirim rudal balistik ke Rusia.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Nasser Kanaani mengatakan Iran menegur pernyataan tersebut, dan menyerukan G7 untuk menjauhkan diri dari kebijakan destruktif di masa lalu.
Sebelumnya pada bulan Juni, Dewan Gubernur pengawas nuklir PBB yang beranggotakan 35 negara mengeluarkan resolusi yang menyerukan Iran untuk meningkatkan kerja sama dengan pengawas tersebut dan membatalkan larangan yang baru-baru ini diterapkan terhadap pengawas nuklir.
Iran memperkaya uranium hingga tingkat kemurnian 60%, mendekati 90% kualitas senjata, dan memiliki cukup bahan yang diperkaya hingga tingkat tersebut, jika diperkaya lebih lanjut, untuk tiga senjata nuklir, menurut tolok ukur IAEA.
Negara-negara Barat mengatakan tidak ada alasan sipil yang dapat dipercaya atas tindakan tersebut. Iran mengatakan tujuannya sepenuhnya untuk tujuan damai, namun para pejabat baru-baru ini mengatakan negara itu bisa mengubah doktrin nuklirnya jika diserang atau keberadaannya terancam oleh musuh bebuyutannya, Israel. Hal ini telah memicu kekhawatiran di IAEA dan negara-negara Barat.
(Susi Susanti)