JAKARTA - Perundingan Roem-Roijen setelah hampir sebulan akhirnya menemui kesepakatan antara perwakilan Indonesia dan Belanda pada 7 Mei 1949.
Perjanjian ini menjadi landasan penting menuju Konferensi Meja Bundar, yang pada akhirnya mengantarkan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada Desember 1949, meskipun proklamasi kemerdekaan telah dilakukan pada 17 Agustus 1945.
Hal menarik yang bakal dibahas adalah kisah reaksi Panglima Besar Jenderal Soedirman terhadap hasil perjanjian tersebut. Bukan soal latar belakang negosiasi antara Mohammad Roem dan Herman van Roijen.
Soedirman memandang perjanjian yang ditandatangani pada 7 Mei 1949 dengan skeptis. Ia khawatir Belanda akan melanggar perjanjian ini, seperti yang terjadi setelah Perjanjian Linggajati dan Renville.
Selain itu, sebagai lulusan pendidikan perwira Pembela Tanah Air (PETA), ia mempertanyakan legitimasi Mohammad Roem sebagai perwakilan pemerintah Indonesia. Menurut Soedirman, sejak Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, Presiden Soekarno telah menugaskan Menteri Pertahanan Sjafroeddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), sehingga seharusnya Sjafroeddin-lah yang berhak menjadi wakil sah Indonesia.
Soedirman juga merasa tersinggung karena dalam perjanjian tersebut, Roem tidak secara eksplisit menyebut Tentara Nasional Indonesia (TNI), melainkan hanya menyebut "kesatuan bersenjata." Hal ini dianggap sebagai pengabaian terhadap TNI dan menyamakan pejuang gerilya TNI dengan gerombolan bersenjata.
Menurut Soedirman, pernyataan ini seolah-olah mendukung propaganda Belanda yang menyatakan bahwa TNI telah hancur. Padahal, Serangan Umum 1 Maret 1949 menunjukkan bahwa TNI masih ada dan berjuang.
Apalagi, ini bukan pertama kalinya Soedirman harus mengikuti kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan diplomasi dengan Belanda. Sebelumnya, ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948 dan menyerbu Yogyakarta, Presiden Soekarno menolak ajakan Sudirman untuk bergabung dalam perang gerilya dan memilih untuk tetap tinggal di Yogyakarta demi berunding dengan Belanda.
Dalam biografi "Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia," Soekarno mengungkapkan alasannya kepada Sudirman: "Dirman, engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan perang bersama pasukanmu. Tempatmu bukan pelarianku. Aku harus tinggal di sini dan mungkin bisa berunding untuk kita serta memimpin rakyat kita," kata Bung Karno dalam biografinya karya Cindy Adams.
Pertemuan terakhir antara Soedirman dan Soekarno pada tahun 1948 baru terulang lagi pada 10 Juli 1949, setelah Yogyakarta dikembalikan kepada Republik Indonesia. Awalnya, Sudirman ragu untuk memenuhi panggilan Soekarno, tetapi akhirnya setuju setelah menerima surat yang diantarkan oleh Letkol Soeharto.
Dengan rekomendasi Kolonel Tahi Bonar Simatupang, Soedirman bertemu dengan Soekarno sebelum melakukan inspeksi terhadap barisan tentaranya di alun-alun Keraton Yogyakarta.
Pertemuan tersebut sangat emosional, di mana Soekarno menyambut Sudirman dengan pelukan hangat meskipun Soedirman tampak lusuh dengan mantel perangnya.
Setelah pertemuan ini, Soekarno dan Mohammad Hatta terharu melihat keteguhan Sudirman yang terus berjuang melawan Belanda meskipun diserang penyakit TBC.
(Arief Setyadi )