JAKARTA - Masyarakat Indonesia dihebohkan dengan pembunuhan terhadap Direktur Utama (Dirut) PT Aneka Sakti Bhuana (Asaba) Boedyharto Angsono, pada 19 Juli 2003. Boedyharto dieksekusi saat sedang bersama pengawal pribadinya Serda Edy Siyep yang merupakan anggota Kopassus.
Boedyharto dan Serda Edy dibunuh di depan lapangan basket Gelanggang Olahraga (GOR) Sasana Krida Pluit, Jakarta Utara, sekira pukul 05.30 WIB oleh empat oknum anggota Marinir.
Pihak Kepolisian dibantu TNI AL langsung bergerak cepat dan menangkap empat oknum anggota Marinir diduga terkait pembunuhan tersebut, pada 31 Juli 2003. Empat oknum anggota Marinir yang ditangkap disinyalir pengawal pribadi Gunawan Santoso yang merupakan mantan menantu Boedyharto. Sedangkan Gunawan dicokok oleh pihak kepolisian pada 12 September 2003.
Salah satu pelaku pembunuhan tersebut adalah Suud Rusli, merupakan mantan prajurit Batalyon Intai Amfibi (Yon Taifib) yang berpangkat kopral dua. Batalyon Taifib adalah satuan elit edi dalam korps Marinir. Suud Rusli pun divonis hukuman mati akibat kejadian tersebut.
Suud Rusli pun melakukan pengajuan grasi atas vonisnya itu, namun ditolak oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) tertanggal 31 Agustus 2015. Sedangkan pemberitahuan penolakan grasi itu baru ia terima tertanggal 8 Oktober 2015.
Setelah itu, Suud Rusli menggugat UU Grasi ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar menjadi salah satu opsi untuk pengajuan grasi bisa diajukan kembali. Namun MK menolak permohonan uji materi Undang-undang nomor 5 tahun 2010 tentang Grasi yang diajukannya.
Suud Rusli sejatinya akan dihukum mati pada tahun 2005 silam. Namun, bersama rekannya sesama anggota marinir, Syam Ahmad, ia berhasil melarikan diri dari Rumah Tahanan Militer Cibinong dengan cara memotong jeruji jendela sel tahanan menggunakan gergaji besi.