AMSTERDAM - Pada 17 Juli 2014, Penerbangan Malaysia Airlines MH17, sebuah Boeing 777 yang melakukan perjalanan dari Amsterdam ke Kuala Lumpur, ditembak jatuh di Ukraina timur oleh rudal permukaan-ke-udara BUK buatan Rusia.
Kecelakaan itu merenggut 298 nyawa di dalamnya, termasuk 195 warga negara Belanda dan 38 warga negara Australia.
Untuk memperingati tragedi ini, Raja Willem-Alexander dari Belanda bergabung dengan sekira 1.300 kerabat korban di Monumen Nasional MH17 dekat Vijfhuizen. Upacara tersebut juga dihadiri oleh pejabat pemerintah Belanda dan perwakilan dari Malaysia, Australia, Inggris, Belgia, dan Ukraina.
Upacara berlangsung di Monumen Nasional MH17 dekat kota Vijfhuizen.
Pada peringatan sepuluh tahun jatuhnya pesawat Malaysia Airlines MH17, Australia menegaskan kembali komitmennya untuk meminta pertanggungjawaban Rusia atas tragedi yang merenggut hampir 300 nyawa.
Saat upacara peringatan di parlemen Canberra, Menteri Luar Negeri Penny Wong menyampaikan pidato kepada keluarga dan pejabat yang berduka.
"Kami tidak akan goyah dalam tekad kami untuk memastikan Rusia menghadapi konsekuensi atas tindakan ini,” terangnya.
“Saya berkomitmen kembali untuk mengejar kebenaran, keadilan, dan akuntabilitas kolektif atas kemarahan yang dilakukan pada 17 Juli 2014,” lanjutnya.
"Kesedihan tidak pernah sepenuhnya hilang dari kita, tetapi waktu dan cinta dapat mengurangi bebannya,” tambahnya.
Nama-nama warga Australia yang meninggal dibacakan pada upacara peringatan sementara anggota keluarga menaruh bunga emas di karangan bunga, banyak yang berhenti sejenak atau menyeka air mata.
Kesedihan keluarga korban yang tak pernah usai
Keluarga-keluarga yang berduka pada Rabu (17/7/2024) menyebutkan nama dan usia seluruh 298 penumpang dan awak yang tewas saat mereka memperingati tragedi tersebut dalam sebuah upacara khidmat di dekat Amsterdam.
Para kerabat, beberapa diantaranya menangis atau menahan air mata, menyebutkan nama saudara laki-laki, saudara perempuan, orang tua, cucu, kakek-nenek, keponakan dan keponakan dalam litani nyawa yang hilang yang berlangsung selama 30 menit.
“Ini hari yang kelam,” kata Evert van Zijtveld, yang kehilangan putri dan putranya, Frederique, 19, dan Robert-Jan, 18, serta kakek dan nenek mereka.
“Yang sangat penting adalah kami menyebutkan nama orang-orang yang kami cintai dan sangat penting bagi kami untuk mengingat mereka,” tambahnya.
Investigasi internasional menyimpulkan bahwa sistem rudal Buk yang menghancurkan MH17 adalah milik Brigade Rudal Anti-Pesawat ke-53 Rusia dan ditembakkan dari wilayah yang dikuasai separatis pro-Moskow.
Penyelidikan menyimpulkan bahwa rudal tersebut dibawa ke Ukraina dari pangkalan militer Rusia di dekat kota Kursk dan dikembalikan ke sana setelah pesawat tersebut ditembak jatuh.
Moskow telah berulang kali membantah bertanggung jawab. Pada 2022, pengadilan Belanda memvonis secara in absensia dua warga Rusia dan seorang separatis Ukraina atas peran mereka dalam jatuhnya jet tersebut.
“Meskipun pengadilan secara resmi memutuskan boneka-boneka Rusia bersalah, otoritas Kremlin yang dipimpin oleh Putin dan kaki tangannya berada di balik kejahatan ini,” kata Staf Umum Ukraina dalam sebuah pernyataan yang dipublikasikan di Facebook.
Australia dan Belanda sedang mengajukan kasus terhadap Rusia ke Organisasi Penerbangan Sipil Internasional, sebuah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan kewenangan penegakan hukum yang terbatas. Rusia membantah terlibat dalam insiden tersebut.
Sebelumnya, masih di tahun ini, peringatan satu dekade juga diperingati pesawat Malaysia Airlines Penerbangan MH370 yang menghilang secara misterius pada 8 Maret 2014. Keluarga dari 239 korban berkumpul di Kuala Lumpur untuk memperingati peristiwa tersebut dan menyerukan upaya penyelidikan baru.
Meski menemukan puing-puing di Samudera Hindia, namun tidak ada jejak penumpang yang ditemukan. Keluarga-keluarga tersebut, yang masih bergulat dengan dampak emosional, menuntut penyelidikan lebih lanjut dan keadilan.
Teori seputar hilangnya pesawat tersebut, termasuk bunuh diri pilot dan peluncuran rudal, terus beredar. Pencarian maritim terbesar dalam sejarah dilakukan selama tiga tahun, berakhir pada 2017, namun upaya swasta selanjutnya terbukti tidak berhasil.
Banyak kerabat yang menuduh Malaysia Airlines dan pemerintah Malaysia menyembunyikan informasi, sebuah klaim yang dibantah oleh pihak-pihak yang terlibat.
(Rahman Asmardika)