JAKARTA – Aksi protes di China dilaporkan meningkat dalam beberapa bulan terakhir, di tengah pembatasan dan pengawasan yang meningkat dari Beijing. Laporan organisasi hak asasi manusia China Dissent Monitor (CDM) mendokumentasikan bahwa 805 insiden perbedaan pendapat di China antara April dan Juni 2024, meningkat 18 persen dibandingkan periode sama pada 2023.
Laporan CDM, yang yang berpusat di Washington, Amerika Serikat (AS), menyebutkan bahwa sebagian besar insiden perbedaan pendapat yang tercatat di 370 kota provinsi di China terkait dengan perselisihan perburuhan (44 persen) dan protes pemilik rumah (21 persen), dengan sisanya melibatkan berbagai kelompok seperti penduduk pedesaan, pelajar, orang tua, investor, konsumen, anggota kelompok agama, aktivis, warga Tibet, etnis Mongolia, dan anggota komunitas LGBT+.
Provinsi Guangdong mengalami jumlah protes tertinggi, yaitu 13 persen dari total, diikuti Shandong, Hebei, Henan, dan Zhejiang. Shenzhen, Xi’an, dan Sanya termasuk kota-kota dengan tingkat protes tertinggi terkait isu ekonomi.
Selain itu, beberapa kota di Provinsi Guangdong juga mengalami persentase protes yang signifikan, menurut laporan tersebut.
CDM Freedom House, yang mendokumentasikan hampir 6.400 peristiwa perbedaan pendapat selama dua tahun, mencatat 805 insiden perbedaan pendapat pada kuartal kedua 2024, menurut laporan tersebut.
“Wilayah dengan peristiwa protes tertinggi adalah Guangdong (13 persen), diikuti oleh Shandong, Hebei, Henan, dan Zhejiang. CDM telah mencatat total 6.300 kasus perbedaan pendapat sejak pengumpulan data dimulai pada Juni 2022,” demikian bunyi laporan tersebut dan dikutip The Hong Kong Post pada Kamis (12/9/2024).
Frekuensi Aksi Protes
CDM mendokumentasikan 228 protes yang dipimpin penduduk pedesaan selama dua tahun terakhir, yang sebagian besar terkait relokasi paksa dan akuisisi lahan yang tidak adil. Kasus-kasus ini menyoroti korupsi dan ketidakpuasan yang muncul dari perampasan lahan yang meluas, kata laporan CDM Freedom House.