Lalu, kata dia, menyoal kerugian negara yang disebut mencapai Rp300 triliun, majelis hakim tak ada dalam pertimbangannya menyatakan nilai kerugiannya sebesar itu. Menurutnya, kerugian negara itu hanya diungkap dalam dakwaan saja.
Lebih jauh, ia meyinggung keberadaan Pasal 14 di Undang-undang Tipikor yang berfungsi sebagai penentu apakah perbuatan pidana lain dapat dianggap sebagai tindak pidana korupsi seperti merugikan keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
“Kita patuh dengan aturan yang sudah tertuliskan. Nggak boleh diabaikan. Jadi, sekarang ada paradigma seakan-akan kejaksaan itu berwenang untuk menyatakan Tipikor semua perbuatan yang terkait dengan penambangan ilegal, perambahan hutan, kerusakan lingkungan hidup. Jadi, dalam perluasan makna kewenangannya terlalu jauh. Semua ditarik Tipikor. Padahal ada undang-undang lain yang sudah mengatur secara jelas, Secara cermat, sudah mengatur. Tapi nggak pernah dipakai,” tegasnya.
“Jadi, buat apa ada pidana dalam undang-undangan Lingkungan Hidup kalau semuanya dijadikan Tipikor. Kalau memang kerugian negara, ya pasti rugi. Nggak mungkin nggak ada rugi. Tapi nggak semua kerugian negara itu adalah tipikor. Kalau begitu, orang nggak bayar pajak, masukin aja tipikor,” timpalnya.