Pada 15 Maret 1917, peristiwa besar terjadi di Kekaisaran Rusia, saat Tsar Nikolai III turun takhta di tengah kekacauan atas keterlibatannya pada Perang Dunia I. Ini memicu aksi revolusi di Kekaisaran Rusia yang berujung pada penggulingan pemerintahan oleh kaum Bolshevik pada 23 Oktober hingga 8 November 1917.
Estonia sendiri diduduki tentara Jerman pada 4 Maret 1918, akan tetapi, kekalahan Jerman pada akhir Perang Dunia I memaksa tentara Jerman meninggalkan Estonia pada November 1918. Selepas kepergian tentara Jerman, Bolshevik yang kini menguasai Rusia menyerbu Estonia pada 28 November 1918 dan menempatkannya di bawah kekuaaan apa saat ini dikenal sebagai Uni Soviet.
Pada akhir 1980-an, Uni Soviet, yang merupakan salah satu negara adidaya dunia mulai menunjukkan keruntuhan. Pada saat inilah orang-orang Estonia kembali bergerak untuk menuntut hak kemerdekaan mereka.
Lagu telah lama menjadi bentuk ekspresi orang Estonia, sebuah cara untuk tetap mempertahankan karakter nasional mereka sebagai sebuah negara dalam menghadapi dominasi negara asing. Langkah ini disebut sebagai Revolusi Bernyanyi yang merupakan proses dari pembentukan kembali kemerdekaan Estonia pada 1991.
Pada 1947, selama festival Laulupidu yang diadakan setelah pendudukan Soviet, Gustav Ernesaks menulis sebuah lagu yang disusun berdasarkan lirik puisi nasional berusia seabad yang ditulis oleh Lydia Koidula, “Mu isamaa on minu arm” (“Tanah Para Ayahku, Tanah yang Kucintai”). Lagu ini secara ajaib lolos dari sensor Soviet, dan selama lima puluh tahun menjadi pernyataan musikal dari keinginan setiap orang Estonia untuk mendapatkan kebebasan.
Pada 1988, sebanyak 300.000 orang, sepertiga dari populasi Estonia berkumpul di Song Festival Grounds di luar ibu kota Tallinn. Hingga saat ini, penduduk setempat masih ingat dengan jelas saat mereka keluar untuk menyanyikan lagu-lagu patriotik sambil mengenakan kostum rakyat yang dijahit bertahun-tahun sebelumnya oleh nenek mereka.