JAKARTA - Malam Satu Suro, malam pertama bulan Suro dalam penanggalan Jawa yang juga bertepatan dengan 1 Muharam, dipandang sangat sakral oleh masyarakat Jawa.
Dalam kepercayaan tradisional, malam ini dipercaya sebagai waktu ketika batas antara dunia manusia dan makhluk gaib menjadi tipis. Berikut lima pantangan utama yang harus dihindari masyarakat turun-temurun, yang dilansir dari beberapa sumber:
1. Dilarang keluar rumah
Banyak masyarakat Jawa meyakini bahwa pada malam 1 Suro, keluar rumah—bahkan hanya untuk urusan sepele—dapat mengundang bahaya atau kesialan. Kepercayaan ini muncul karena diyakini energi gaib sangat kuat dan aktif berkeliling pada malam tersebut.
Selain itu, malam Satu Suro juga dipercaya sebagai waktu di mana para pelaku ilmu hitam, seperti dukun atau orang yang mencari pesugihan, melakukan ritual dan mencari tumbal demi kekayaan atau kesaktian, sehingga keluar rumah pada malam itu dianggap sangat berisiko, terutama bagi mereka yang memiliki weton tertentu.
2. Tidak boleh berbicara keras atau berisik
Dalam tradisi masyarakat Jawa, khususnya di lingkungan Keraton Yogyakarta, malam 1 Suro diperingati dengan ritual tapa bisu sebagai bentuk laku spiritual yang penuh makna. Tapa bisu adalah praktik diam seribu kata—tanpa berbicara, makan, minum, bahkan merokok—yang merefleksikan keheningan dan kehati-hatian dalam menyambut tahun baru Jawa.
Salah satu bentuk tapa bisu yang terkenal adalah tradisi Tapa Bisu Mubeng Beteng, yaitu ritual mengelilingi benteng keraton sejauh kurang lebih 4 kilometer. Prosesi ini dilaksanakan oleh para abdi dalem dan diikuti oleh masyarakat umum, dan selama pelaksanaannya tidak seorang pun diperbolehkan mengeluarkan suara. Berbicara keras atau bersikap gaduh pada malam 1 Suro pun dianggap sebagai pantangan, karena mengganggu kekhusyukan ritual tersebut.
3. Pantangan menggelar pesta atau hajatan
Masyarakat Jawa secara turun-temurun menghindari mengadakan hajatan atau pesta, terutama pernikahan dan sunatan, pada malam maupun sepanjang bulan Suro. Kepercayaan ini berasal dari ajaran Sultan Agung yang menganjurkan masyarakat untuk menyepi dan berdoa pada malam sakral 1 Suro, bukan bersenang-senang.
Bulan Suro dipandang sebagai waktu yang membawa nuansa duka dan perenungan, sehingga menggelar pesta dianggap tidak bijak. Diyakini bahwa mengadakan hajatan pada waktu ini bisa mendatangkan malapetaka, seperti perceraian, kematian, atau hilangnya rezeki. Karena itu, banyak keluarga memilih menunda acara penting hingga bulan berikutnya demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
4. Dilarang pindah atau membangun rumah
Masyarakat Jawa umumnya menghindari melakukan aktivitas besar seperti pindah rumah atau memulai pembangunan selama malam satu Suro dan sepanjang bulan berikutnya. Kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun menyebutkan bahwa tindakan tersebut dapat mengundang energi negatif yang berdampak pada keselamatan penghuni.
Selain itu, diyakini bahwa pembangunan rumah pada masa ini berpotensi memicu gangguan dari makhluk halus. Oleh karena itu, banyak orang memilih menunda rencana besar sampai waktu yang dianggap lebih bersih dan aman secara spiritual.
5. Dilarang berkata kasar atau melakukan konflik
Pada malam satu Suro, masyarakat Jawa berusaha menjaga ucapan dengan tidak melontarkan kata-kata kasar atau kotor. Sikap ini bukan hanya mencerminkan kesopanan, tetapi juga didasari keyakinan bahwa setiap perkataan memiliki kekuatan tersendiri. Ucapan buruk dipercaya dapat membawa dampak nyata dan mewujud dalam kehidupan.
Oleh karena itu, menjaga lisan menjadi bagian penting dalam upaya pensucian diri. Terlebih lagi, ada kepercayaan bahwa malam satu Suro merupakan waktu turunnya roh leluhur dan para wali yang mendengarkan doa serta harapan manusia, sehingga setiap perkataan harus dijaga dengan sebaik-baiknya.
(Awaludin)