TEPI BARAT - Israel memasang pagar logam setinggi lima meter membelah tepi timur Sinjil, Kota Palestina di Tepi Barat yang diduduki. Gerbang baja berat dan penghalang jalan menutup semua kecuali satu rute masuk dan keluar kota. Itu pun diawasi tentara Israel di pos jaga.
Warga hanya bisa pasrah akan hal ini. "Sinjil sekarang menjadi penjara besar," kata Mousa Shabaneh (52), melansir Reuters, Jumat (4/7/2025).
Ayah tujuh anak ini menyaksikan dengan pasrah saat para pekerja mendirikan pagar di tengah pembibitan di tepi kota. Itu merupakan tempatnya menanam pohon untuk dijual, satu-satunya sumber pendapatannya.
"Tentu saja, kami sekarang dilarang pergi ke pembibitan. Semua pohon yang saya miliki dibakar dan hilang," katanya.
"Pada akhirnya, mereka memutus mata pencaharian kami," ucapnya.
Tembok dan pos pemeriksaan yang didirikan pasukan Israel telah lama menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari bagi hampir 3 juta penduduk Palestina di Tepi Barat.
Namun, kini banyak yang mengatakan peningkatan drastis penghalang tersebut sejak dimulainya perang di Gaza. Hal ini membuat kota-kota dan desa-desa berada dalam kondisi terkepung secara permanen.
Pagar di sekitar Sinjil adalah contoh nyata dari penghalang yang telah bermunculan di seluruh wilayah. Ini menjadi ciri yang sangat menonjol dalam kehidupan sehari-hari.
Militer Israel mengklaim mereka membangunnya untuk melindungi jalan raya Ramallah-Nablus di dekatnya.
"Mengingat insiden teror yang berulang di daerah ini, diputuskan untuk memasang pagar guna mencegah pelemparan batu di jalur utama dan gangguan ketertiban umum yang berulang, dengan demikian menjaga keamanan warga sipil di wilayah tersebut," katanya dalam pernyataan.
Karena penduduk masih diizinkan masuk dan keluar melalui satu-satunya pintu masuk yang tersisa, kebijakan tersebut dianggap memungkinkan "akses bebas" ke kota, kata militer.
Orang-orang yang tinggal di sana sekarang harus berjalan kaki atau berkendara melalui jalan-jalan sempit dan berliku ke satu-satunya titik masuk yang diizinkan. Beberapa orang menyeberang jalan dengan berjalan kaki untuk mencapai mobil di sisi lain.
Wakil Wali Kota, Bahaa Foqaa, mengatakan mereka yang pernah mencari nafkah di tanah sekitar secara efektif terputus. Ia mengatakan pagar tersebut telah mengurung 8.000 penduduk di dalam tanah seluas hampir 10 hektar. Hal ini memisahkan mereka dari 2.000 hektare tanah di sekitar yang mereka miliki secara pribadi.
"Ini adalah kebijakan yang digunakan tentara pendudukan untuk mengintimidasi orang dan menghancurkan keinginan rakyat Palestina," ujarnya.
Israel mengatakan pagar dan penghalangnya di Tepi Barat diperlukan untuk melindungi pemukim Yahudi yang telah pindah ke sana sejak Israel merebut wilayah tersebut dalam perang 1967.
Kepala Dewan Regional Binyamin yang mengatur 47 permukiman Israel di bagian Tepi Barat tempat Sinjil berada, Israel Gantz, mengatakan pagar kota itu diperlukan karena penduduknya telah melemparkan batu dan bom molotov ke mobil-mobil di jalan raya terdekat, semata-mata karena penghuninya adalah orang Yahudi.
"Penghapusan pembatasan terhadap warga Arab Palestina secara sewenang-wenang akan mendorong pembunuhan massal terhadap orang Yahudi," katanya kepada Reuters.
Sekitar 700.000 warga Israel kini tinggal di wilayah yang direbut Israel pada 1967. Sebagian besar negara menganggap komunitas semacam itu melanggar Konvensi Jenewa yang melarang pemukiman warga sipil di tanah yang diduduki; Israel mengatakan pemukiman itu sah dan dibenarkan oleh ikatan Yahudi yang historis dan alkitabiah dengan tanah tersebut.
Setelah puluhan tahun Israel hanya berbasa-basi tentang prospek negara Palestina yang merdeka, pemerintah sayap kanan Israel kini mencakup aktivis pemukim terkemuka yang secara terbuka menyatakan tujuan mereka untuk mencaplok seluruh Tepi Barat.
Israel meningkatkan kehadiran militernya di Tepi Barat segera setelah serangan mendadak Hamas pada Oktober 2023. Ini memicu perang yang telah menghancurkan wilayah utama Palestina lainnya, Jalur Gaza.
Dalam semalam, gundukan tanah dan batu-batu besar diletakkan di jalan. Kemudian gerbang logam berat, biasanya dicat kuning atau oranye, dipasang dan dikunci militer di pintu masuk ke komunitas Palestina, yang sering kali mengarah ke jalan yang juga digunakan oleh para pemukim.
Militer mendirikan pos pemeriksaan permanen baru. Apa yang disebut pos pemeriksaan terbang, yang didirikan secara tiba-tiba dan tanpa peringatan, menjadi lebih sering.
Warga Sinjil, Sana Alwan (52), yang bekerja sebagai pelatih pribadi mengatakan perjalanan yang dulunya singkat untuk mencapai Ramallah kini dapat memakan waktu hingga tiga jam sekali jalan. Tanpa ada cara untuk mengetahui di awal hari berapa lama ia akan terjebak di pos pemeriksaan. Pekerjaan menjadi lambat karena ia tidak dapat lagi menjanjikan klien.
"Separuh dari hidup kami dihabiskan di jalan," katanya.
Sementara Tepi Barat sebagian besar terhindar dari serangan habis-habisan yang dilancarkan di Gaza, kehidupan menjadi semakin tidak menentu. Larangan memasuki Israel untuk bekerja tiba-tiba memutus mata pencaharian puluhan ribu pekerja. Pada awal tahun ini, puluhan ribu penduduk Tepi Barat mengungsi akibat tindakan keras Israel terhadap militan di Jenin di utara.
Mohammad Jammous (34) yang tumbuh di Jericho dan tinggal di Ramallah, dulunya sering bertemu keluarganya hampir setiap minggu. Dulunya, ia menempuh perjalanan selama satu jam. Kini waktu perjalanan bisa memakan waktu berjam-jam. Ia mengatakan sekarang ia biasanya hanya bisa berkunjung sebulan sekali.
Militer Israel mengatakan pasukannya beroperasi dalam "realitas keamanan yang kompleks". Pos pemeriksaan harus direlokasi dan didirikan secara berkala di lokasi baru untuk memantau pergerakan dan menanggapi ancaman yang berasal dari masyarakat Palestina.
Pejabat di Otoritas Palestina, yang menjalankan pemerintahan sendiri terbatas di Tepi Barat di bawah pendudukan Israel, menduga dampak yang mencekik pada ekonomi dan kehidupan sehari-hari itu disengaja. Mereka mengatakan hal itu bisa menjadi bumerang bagi Israel dengan mendorong lebih banyak pemuda untuk bersimpati dengan militan.
"Mereka melakukan segala yang mereka bisa untuk membuat hidup sangat sulit bagi rakyat kami," Perdana Menteri Palestina Mohammad Mustafa mengatakan kepada wartawan bulan lalu.
(Erha Aprili Ramadhoni)