JAKARTA- Peristiwa 27 Juli 1996 atau lebih dikenal dengan Tragedi Kudatuli sebuah konflik internal Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Tragedi ini merupakan salah satu sejarah kelam dalam perjalanan politik di Indonesia.
Peristiwa ini menewaskan 5 orang dan menyebabkan 149 orang luka-luka serta 23 orang dinyatakan hilang.
Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang baru lima hari dideklarasikan (22 Juli 1996) di gedung YLBHI, dituding sebagai dalang kerusuhan.
Tragedi ini bermula dari penyerbuan pendukung Soerjadi ke kantor DPP PDI Jalan Diponegoro 58 pada Sabtu 27 Juli 1996 yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan tersebut pecah hingga berakhir dengan kerusuhan dan menelan banyak korban. Begitu juga dengan kerugian material.
Peristiwa meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar.
Mendagri rezim Orde Baru menerbitkan SK yang intinya menyebut PRD beserta ormas afiliasinya sebagai partai terlarang.
Aktivis PRD dan underbownya, yakni Serikat Tani Nasional (STN), Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker), dan Sarekat Rakyat Indonesia (SRI), diburu.
Sejumlah pengurus penting partai berhasil ditangkap, termasuk Ketua Umum PRD beserta 13 orang pengurus dan anggota, dijebloskan ke dalam penjara. Bahkan, sejumlah aktivis lainnya hilang. Kemudian, ada yang muncul dengan testimoni sebagai korban penculikan.
Budiman Sudjatmiko mendapat hukuman terberat, yakni 13 tahun penjara. Dua faksi di internal PDI antara Megawati dan Soerjadi bergulir.
Menyusul pengunduran diri Soeharto dan pencabutan batasan Orde Baru pada partai politik nasional, Megawati mendeklarasikan pembentukan PDIP, menambahkan sufiks "perjuangan" untuk membedakan fraksi partainya dari fraksi yang didukung pemerintah. Megawati terpilih sebagai ketua umum PDIP dan dinominasikan sebagai presiden pada 1999.
(Fahmi Firdaus )