JAKARTA – Tanah longsor yang melanda daerah Pegunungan Marra yang terpencil di Sudan Barat telah menewaskan setidaknya 370 orang, menurut seorang pejabat PBB. Jumlah pasti korban dan skala dari bencana masih belum diketahui secara pasti, karena wilayah terdampak masih sulit dijangkau.
Hujan deras selama berhari-hari memicu tanah longsor pada Minggu (31/8/2025) yang hanya menyisakan satu orang yang selamat dan "meratakan" sebagian besar desa Tarseen, kata Gerakan Pembebasan Sudan, kelompok bersenjata yang menguasai wilayah yang terdampak tersebut dalam sebuah pernyataan.
Kelompok tersebut mengatakan bahwa setidaknya 1.000 orang telah tewas. Gerakan ini telah meminta bantuan kemanusiaan dari PBB dan organisasi regional serta internasional lainnya.
Antoine Gérard, wakil koordinator kemanusiaan PBB untuk Sudan, mengatakan bahwa bantuan akan sulit disalurkan dengan cepat ke wilayah tersebut karena lokasi yang sulit dijangkau.
"Kami tidak memiliki helikopter, semuanya menggunakan kendaraan di jalan yang sangat bergelombang. Butuh waktu dan ini musim hujan — terkadang kami harus menunggu berjam-jam, mungkin satu atau dua hari untuk menyeberangi lembah... mendatangkan truk berisi komoditas akan menjadi tantangan," kata Gérard, sebagaimana dilansir BBC.
Banyak penduduk dari negara bagian Darfur Utara telah mencari perlindungan di wilayah Pegunungan Marra, setelah perang antara tentara Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang paramiliter memaksa mereka meninggalkan rumah mereka.
Gubernur Darfur yang berpihak pada tentara, Minni Minnawi, menyebut tanah longsor tersebut sebagai "tragedi kemanusiaan".
"Kami mengimbau organisasi kemanusiaan internasional untuk segera turun tangan dan memberikan dukungan serta bantuan pada saat kritis ini, karena tragedi ini lebih besar daripada yang dapat ditanggung sendiri oleh rakyat kami," katanya dalam sebuah pernyataan yang dikutip oleh kantor berita AFP.
Gambar-gambar menunjukkan dua parit di lereng gunung yang bertemu di dataran rendah tempat Desa Tarseen dulu berada.
Perang saudara yang meletus pada April 2023 antara tentara Sudan dan RSF telah menjerumuskan negara itu ke dalam bencana kelaparan dan memicu tuduhan genosida di wilayah Darfur Barat.
Perkiraan jumlah korban tewas akibat perang saudara sangat bervariasi, tetapi seorang pejabat Amerika Serikat (AS) tahun lalu memperkirakan hingga 150.000 orang telah tewas sejak permusuhan dimulai pada tahun 2023. Sekitar 12 juta orang telah meninggalkan rumah mereka.
Faksi-faksi Gerakan Pembebasan Sudan/Tentara, yang menguasai wilayah tempat tanah longsor terjadi, telah berjanji untuk berjuang bersama militer Sudan melawan RSF. Banyak warga Darfur percaya bahwa RSF dan milisi sekutu telah mengobarkan perang yang bertujuan mengubah wilayah yang dihuni beragam etnis tersebut menjadi wilayah yang diperintah oleh orang Arab.
(Rahman Asmardika)