JAKARTA - Afghanistan telah menolak ultimatum Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump agar mengembalikan Pangkalan Udara Bagram kepada Amerika. Pemerintahan Taliban menegaskan bahwa tuntutan Trump tersebut melanggar perjanjian Taliban-AS tahun 2020 tentang penarikan pasukan.
Pada Minggu (21/9/2025), Trump memperingatkan bahwa jika Afghanistan tidak mengembalikan fasilitas tersebut, "HAL-HAL BURUK AKAN TERJADI!!!" Pemimpin AS tersebut sebelumnya menyesalkan hilangnya pangkalan tersebut bagi Washington, dengan menekankan kedekatannya dengan China.
Kemudian pada hari yang sama, Hamdullah Fitrat, wakil juru bicara pemerintah Afghanistan yang dipimpin Taliban, mencatat bahwa Kabul telah menegaskan kepada AS dalam semua negosiasi bahwa "kemerdekaan dan integritas teritorial negara itu adalah yang terpenting."
"Perlu diingat bahwa, berdasarkan Perjanjian Doha, Amerika Serikat berjanji bahwa 'tidak akan menggunakan atau mengancam kekuatan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik Afghanistan, atau mencampuri urusan internalnya,'" katanya, mendesak AS untuk menepati janjinya.
"Daripada mengulangi pendekatan-pendekatan yang gagal di masa lalu, kebijakan realisme dan rasionalitas harus diadopsi," tegas Fitrat, sebagaimana dilansir RT.
Pangkalan Udara Bagram, yang terletak di Provinsi Parwan, sekitar 60 km di utara Kabul, merupakan pusat militer utama AS di Afghanistan selama dua dekade. Pangkalan ini berfungsi sebagai titik awal operasi kontraterorisme, termasuk melawan al-Qaeda dan ISIS. Pangkalan ini juga menampung fasilitas-fasilitas penahanan, yang diduga terkadang digunakan untuk penyiksaan.
Berdasarkan Perjanjian Doha 2020, AS pada dasarnya mencapai perdamaian dengan Taliban dan berkomitmen untuk menarik pasukannya secara bertahap dari Afghanistan, serta berhenti mengancam kemerdekaan politik negara tersebut. Sebagai imbalannya, para militan mengeluarkan jaminan untuk tidak membiarkan wilayah Afghanistan digunakan oleh kelompok-kelompok teroris.
Namun, sementara AS menerapkan penarikan pasukan secara bertahap, pemerintah dan pasukan keamanan Afghanistan runtuh di bawah tekanan Taliban, yang mendorong pasukan AS yang tersisa untuk bergegas melakukan evakuasi yang kacau.
Para pejabat Taliban sejak itu menegaskan bahwa mereka terbuka untuk bekerja sama dengan AS tetapi "tanpa Amerika Serikat mempertahankan kehadiran militer apa pun di bagian mana pun di Afghanistan."
(Rahman Asmardika)