JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato berapi-api di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Pendekatan baru yang ditawarkan Prabowo untuk mengakhiri konflik di berbagai negara menempatkan dirinya menjadi pemimpin alternatif dunia yang patut diperhitungkan.
“Pidato Prabowo merupakan salah satu pidato terbaik sidang Majelis Umum PBB tahun ini. Dan saya kira akan dikenang untuk waktu yang cukup lama, seperti pidato Bung Karno di PBB pada tahun 1960 yang berjudul To Build the World Anew,” ujar Direktur Geopolitik GREAT Institute, Teguh Santosa dalam keterangannya, Kamis (25/9/2025).
Menurut Teguh, Presiden Prabowo tidak hanya membicarakan tentang persatuan kemanusiaan yang memandang setara semua ras, agama, dan kebangsaan. Namun, menguraikan berbagai tantangan yang dihadapi dunia di era yang penuh ketidakpastian ini.
“Dengan memaparkan pengalaman Indonesia dari era penjajahan hingga menjadi salah satu pemain kunci di dunia, Presiden Prabowo memastikan bahwa solidaritas internasional merupakan modal utama yang dibutuhkan untuk menciptakan perdamaian hakiki,” imbuhnya.
Teguh menilai langkah Prabowo mengajak para pemimpin dunia untuk mengakhiri “doktrin Thucydides”, merupakan sebuah keberanian yang layak diapresiasi. Thucydides merupakan sejarawan Yunani kuno yang hidup pada abad ke-5 SM.
Thucydides pernah bilang jika negara kuat dapat melakukan apapun yang mereka inginkan, sementara negara lemah akan menderita di bawah penindasan negara kuat. Doktrin tersebut memiliki pengaruh kuat seolah memberikan pembenaran atas penjajahan.
Prabowo dinilai membuktikan ke dunia jika Indonesia tidak omon-omon dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina. “Saya kira setelah Indonesia menyampaikan kesediaan mengirimkan pasukan penjaga perdamaian ke Palestina, ada baiknya negara-negara Eropa dan sekutu Israel yang telah mengubah pandangan mereka mengenai kemerdekaan Palestina juga ikut mengirimkan pasukan penjaga perdamaian,” pungkas Dosen Hubungan Internasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah itu.
(Arief Setyadi )