Di tengah kondisi ini, Abu Alaa, pria lanjut usia asal Gaza, mengaku tidak tahu harus berbuat apa setelah tendanya terendam banjir. Rumahnya di Gaza utara telah hancur. Ia tidak diizinkan kembali oleh militer Israel.
“Tenda dan alas tidur penuh air,” ujarnya kepada Anadolu.
Ia mengatakan kini membutuhkan tenda baru karena tidak memiliki tempat lain untuk dituju.
Nasib serupa dialami Mohammed al-Jarousha. Menghadapi kesulitan ekonomi yang berat, ia mengatakan tidak mampu membeli plastik pelapis untuk melindungi tendanya. Akibatnya, air hujan dengan cepat memenuhi tempat tinggal sementaranya.
“Kami kebanjiran. Kami butuh solusi,” ujarnya.
“Kami melewati genosida dan sekarang kami menghadapi yang lain lagi.”
“Tidak ada yang memperhatikan kami meski kondisi kami sangat tragis,” tambahnya.
Bagi Sabir Qawas, yang memiliki putri berusia dua tahun yang menderita kanker, hujan membawa penderitaan lebih berat. Ia mengatakan tendanya ambruk akibat badai.
Qawas kini tinggal di jalanan dan tidak mampu membeli tenda baru. Ia juga menyebut tidak ada organisasi yang datang memberikan bantuan.
Selama hampir dua tahun perang, puluhan ribu tenda telah rusak akibat serangan udara Israel maupun kerusakan alami akibat panas ekstrem di musim panas dan angin kencang di musim dingin.
Sejak Oktober 2023, Israel telah menewaskan lebih dari 69.000 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak, serta melukai lebih dari 170.000 lainnya dalam serangan di Gaza.
(Erha Aprili Ramadhoni)