"Kemudian diarahkan kepada grup yang lebih privat, grup yang lebih kecil, dikelola oleh admin. Di situlah proses-proses indoktrinasi berlangsung. Jadi memang tidak bisa kita sebut satu platform saja, tetapi berbagai model," tuturnya.
Melalui media sosial, kelompok teror ini menyebarkan visi utopia sebagai daya tarik untuk anak-anak. "Jadi memang kita paham bahwa di media sosial ini ada beberapa jenis platform yang menyediakan saluran, baik umum maupun privat. Tentunya di platform umum akan disebarkan dulu visi-visi utopia," kata Mayndra.
Selain merekrut anak-anak melalui media sosial, kelompok teror juga mencari korbannya di dunia gim daring. Pelaku membujuk korban agar bergabung hingga akhirnya dimasukkan ke grup khusus.
"Ada beberapa kegiatan yang dilakukan anak-anak kita ini, seperti bermain gim daring. Nah, di situ mereka juga punya sarana komunikasi chat. Ketika di sana terbentuk komunikasi, mereka kemudian dimasukkan ke dalam grup yang lebih khusus, lebih terenkripsi, dan tidak bisa diakses oleh umum," ucapnya.
(Arief Setyadi )