Dilarang Bicara, Rismon Tuding Audiensi dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri Tidak Fair

Ari Sandita Murti, Jurnalis
Rabu 19 November 2025 13:28 WIB
Rismon Sianipar (Foto: Ari Sandita/Okezone)
Share :

JAKARTA – Pakar Digital Forensik Rismon Hasiholan Sianipar menyampaikan komplain kepada Komisi Percepatan Reformasi Polri lantaran ia diperbolehkan masuk namun tidak diperbolehkan bicara. Ia juga merasa komisi tersebut tidak fair karena adanya pihak pelapor dalam kasus itu, sehingga cerita hanya berasal dari satu sisi.

“Kami komplain pada Profesor Jimly, jurnalis saja sebisa mungkin cover both sides, mendengar cerita dari dua sisi. Kenapa yang namanya Komite Reformasi Polri tidak mau mendengarkan cerita dari sisi kami? Sementara Otto Hasibuan ada di ruangan itu yang bisa menyuplai data atau informasi sesuai versi mereka,” ujarnya, Rabu (19/11/2025).

Pihaknya diminta untuk keluar dari tempat audiensi atau tetap hadir namun tidak boleh bicara, yang membuat ia hanya menjadi penonton belaka. Ia pun menyampaikan keberatannya atas hal tersebut.

“Diminta keluar langsung atau berada di barisan belakang tapi tidak ngomong. Kami kan di sini bukan untuk menjadi penonton, Prof. Jimly, iya kan. Terkait dengan tadi juga kami keberatan. Di situ ada Profesor Otto Hasibuan yang dari kantor pengacaranya mendampingi atau menjadi PH dari pelapor, Joko Widodo ya. Jadi itu tidak fair,” tuturnya.

Ia juga menyampaikan komplain kepada Presiden RI Prabowo Subianto bahwa suara seorang terpidana, apalagi tersangka, seharusnya tetap bisa didengarkan. Meski walk out, pihaknya sempat memberikan buku berjudul Jokowi’s White Paper kepada para komisioner.

“Kami menginginkan hak untuk meneliti di Indonesia jangan dibungkam. Yang kami teliti kan dokumen publik. Ijazah Joko Widodo sebagai presiden itu kan dokumen publik. Ya, kami menjawab dan simpulkan palsu, tinggal dibalas oleh ahlinya simpulkan asli, biarkan rakyat yang menilai dan menyimpulkannya,” bebernya.

Ia menjelaskan seharusnya persoalan penelitian tersebut diselesaikan melalui penelitian pula atau seminar ilmiah, baik nasional maupun internasional, bukan melalui pembungkaman dengan penetapan tersangka hingga tuduhan memanipulasi data ijazah.

“Masih tersangka saja tidak boleh menyuarakan aspirasinya, apalagi terpidana. Ingat Prof. Jimly, kalau kami meneliti dan kami mengedit, kami memanipulasi, tidak mungkin kami publikasikan dalam sebuah buku. Manipulasi yang jahat itu di ruang gelap, bukan di ruang terang,” katanya.

(Arief Setyadi )

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya