Menurut Havas, pengajuan proposal ini adalah bentuk tanggung jawab negara untuk melindungi hak ekonomi kreator secara global, bukan hanya di dalam negeri. Ia menyebut ketimpangan struktural dalam ekosistem royalty digital semakin melebar. UNESCO dan Bank Dunia mencatat sekitar US$ 55,5 miliar royalti musik dan audiovisual “menguap” setiap tahun tidak terkumpul, tidak tercatat, dan tidak pernah diterima penciptanya.
"Sistem royalti yang adil harus menjunjung martabat seluruh pencipta, tanpa memandang wilayah atau ukuran pasar. Keadilan menuntut adanya transparansi agar pencipta memahami bagaimana royalti dihitung, didistribusikan, dan dilaporkan,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, inisiator proposal, menegaskan ketimpangan ini tidak terlepas dari dominasi platform digital global yang mengendalikan algoritma, model lisensi, standar metadata, hingga sistem pelaporan. Pemerintah Indonesia mengidentifikasi empat persoalan struktural utama: metadata yang terfragmentasi, model pembagian royalti yang tidak adil, perbedaan penilaian royalti antarnegara, dan tata kelola distribusi yang tidak transparan.
“Dalam ekosistem digital, siapa yang menguasai data, dialah yang menguasai nilai. Inilah akar persoalan royalti global saat ini,” jelas Supratman.