JAKARTA - Peristiwa Rengasdengklok terbukti ampuh mendesak dua tokoh bangsa untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Arah kehidupan politik Indonesia pun berubah sesuai kebutuhan zaman.
Saat itu, kebutuhan adanya aliansi antarkelompok mahasiswa dirasakan cukup kuat. Pada 1947, Kongres Mahasiswa pertama di Malang mendeklarasikan kelahiran Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI).
Kebutuhan akan aliansi ini masih kuat pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959). Sistem multipartai yang diterapkan saat itu mempengaruhi berbagai organisasi kemahasiswaan untuk berafiliasi dengan partai-partai politik. Misalnya Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) dengan Partai Katholik, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan Partai Serikat Islam (PSI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan Partai Nahdlatul Ulama (NU), serta Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi.
Setelah PKI mendominasi hasil pemilu 1955, CGMI pun mulai berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi mahasiswa lainnya. Mereka bahkan berusaha mempengaruhi PMII sehingga menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI. Perseteruan ini terutama dipicu isu perebutan kekuasaan dalam tubuh PMII oleh CGMI dan GMNI setelah Kongres ke-V PPMI pada 1961.
Lima tahun kemudian, tepatnya pada 25 Oktober 1966, sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Syarief Thayeb membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Organisasi mahasiswa yang menyetuji kesepakatan tersebut adalah PMKRI, HMI, PMII, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI).
KAMI didirikan terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan. Munculnya KAMI lantas diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI).
Periode 1965-1966 menjadi tonggak pergerakan bangsa ketika para pemuda dan mahasiswa Indonesia bergerak secara nasional dan terlibat dalam mendirikan Orde Baru. Sebelumnya, pergerakan mahasiswa bersifat kedaerahan.
Mereka yang aktif pada masa ini dikenal dengan Angkatan '66. Setelah Orde Lama berakhir, di antara aktivis '66 kemudian ada yang masuk pada lingkar kekuasaan Orde Baru dan banyak yang duduk di kursi Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan perwakilan Rakyat (DPR/MPR), serta diangkat dalam kabibet pemerintahan Orde Baru. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Cosmas Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan Wanandi dan Yusuf Wanandi yang berasal dari PMKRI, serta Akbar Tanjung dari HMI.
Angkatan ini juga melahirkan satu tokoh idealis dan menjadi panutan mahasiswa hingga kini yaitu Soe Hok Gie.
(Hariyanto Kurniawan)