Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Pemakai bahasa Sunda tinggal 43%

Iman Herdiana (Okezone) , Jurnalis-Rabu, 23 November 2011 |21:27 WIB
Pemakai bahasa Sunda tinggal 43%
A
A
A

Sindonews.com - Pengguna bahasa Sunda dalam pergaulan generasi muda saat ini jumlahnya sangat sedikit. Akibatnya, kelestarian bahasa Sunda terancam punah.

Hasil penelitian Balai Bahasa Bandung yang dilakukan selama dua tahun (2008-2009) menunjukkan, jumlah keluarga yang menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulan sehari-hari tinggal 43 persen. Penelitian dilakukan terhadap 900 keluarga. Sanpel diambil di keluarga yang berada di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Tasikmalaya, Cirebon, Garut, Ciamis, dan Banjar.

"Dari dua tahun penelitian, ternyata pengguna bahasa Sunda tinggal 43 persen. Sampel penelitiannya adalah keluarga," kata peneliti Balai Bahasa Bandung Asep Supriyadi di Bandung, Jawa Barat, Rabu (23/11/2011).
 
Menurut penelitian itu, lanjut Asep, tiap sampel atau keluarga tidak menggunakan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-harinya, termasuk saat berkomunikasi dengan anak-anaknya. Meskipun mereka lahir dan dibesarkan di Jabar.

Akibatnya, bahasa Sunda sebagai bahasa daerah dikhawatirkan punah. Indikasinya, saat ini pemahaman murid sekolah terhadap bahasa Sunda cenderung kurang. Dalam pergaulan, mereka lebih senang menggunakan bahasa Indonesia. "Bahasa Sunda terdesak bahasa Indonesia. Jika dibiarkan bisa punah," ujarnya.

Fenomena terdesaknya bahasa Sunda terutama terjadi di masyarakat perkotaan, khususnya di kalangan remaja. Faktor yang membuat mereka enggan menggunakan bahasa Sunda karena mengalami kesulitan dalam menggunakan undak-usuk (tata bahasa) bahasa Sunda.

"Mereka takut salah bicara, kan ada yang halus ada yang kasar. Akhirnya pelajar enggan," terangnya.

Namun faktor terbesar yang membuat bahasa Sunda terancam adalah faktor gengsi. Jika mereka menggunakan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari, mereka merasa kurang pede.

Faktor gengsi juga ada di pihak orangtua dalam berkomunikasi dengan anaknya. Sehingga, mereka lebih memilih bahasa Indonesia. "Gengsi mungkin faktor pertama penyebab makin minimnya pengguna bahasa Sunda, terutama gengsi di kalangan orangtua," tuturnya.

Salah satu upaya untuk meningkatkan minat pelajar dalam memakai bahasa Sunda adalah dengan menggelar berbagai lomba. Misalnya, Selasa 22 November kemarin, Balai Bahasa menggelar lomba menulis surat dalam bahasa Sunda tingkat SMP/MTS.

Sekadar diketahui, kekayaan Indonesia  yang melimpah dalam berbagai hal, termasuk kekayaan bahasa. Tidak kurang dari 12% dari seluruh bahasa di dunia ini terdapat di Indonesia. 

Summer Institute of Linguistics  (SIL, 2001) menginformasikan bahwa di Indonesia terdapat 731 bahasa (bandingkan pula,
Masinambow & Haenen (Ed.), 2002: 2), termasuk 5 bahasa yang telah punah (baca pula Lauder, 2004). Jumlah penutur bahasa-bahasa tersebut beragam.

Crystal (2000 dalam Lauder, 2004) menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat 13 bahasa terbesar dengan kriteria  penuturnya minimal berjumlah 1 juta  jiwa, di antaranya yaitu bahasa Jawa (75,2 juta), Sunda (27 juta), dan Melayu (20 juta).

Dengan demikian, ratusan bahasa lainnya memiliki penutur di bawah 1 juta jiwa. Bahkan, terdapat bahasa yang jumlah penuturnya hanya 10 jiwa, terlebih-lebih lagi ada bahasa yang hanya berpenutur 1
orang. Kondisi  ini sungguh memprihatinkan dan sudah selayaknya menjadi perhatian bersama untuk menjaga bahasa daerah dari kepunahan mengingat bahasa menyangkut jati diri suatu bangsa.

Bahasa Sunda sebagai bahasa resmi pernah mandeg ketika tatar Sunda menjadi bawahan Mataram, pada Jaman Amangkurat I sedikit-demi sedikit diserahkan kepada Belanda. Pada amasa itu bahasa Sunda hanya digunakan sebagai bahasa lisan–bahasa sehari-hari, sedangkan bahasa formalnya menggunakan bahasa Jawa.

Konon kabar sejak abad 17 (Jatuhnya Pajajaran), di tatar Sunda menggunakan naskah-naskah berbahasa dan beraksara Jawa, berbahasa dan beraksara Arab, serta berbahasa Jawa dan beraksara Pegon.

Bahasa Sunda mulai banyak digunakan kembali pada abad ke-19. Karena Belanda pun sebelumnya menganggap Urang Sunda hanya sebagai orang jawa gunung yang hidup didaerah barat pulau Jawa.

Bahasa Sunda manggung deui pertama-tama setelah diketahui bahwa ternyata Urang Sunda itu memiliki Budaya dan bahasa yang tersendiri, sama halnya dengan Melayu dan Jawa. Memang memerlukan jalan panjang untuk membuktikan adanya etnisitas ini, bahkan Rafles pun hanya menganggap bahasa Sunda itu hanya dialek dari bahasa Jawa. Secara resmi

Bahasa Sunda resmi diakui sebagai bahasa yang mandiri mulai pada tahun 1841, ditandai dengan diterbitkannya kamus bahasa Sunda yang pertama (Kamus bahasa Belanda-Melayu dan Sunda). Kamus tersebut diterbitkan di Amsterdam, disusun oleh Roorda, seorang Sarjana bahasa Timur. Sedangkan senarai kosa kata Sunda dikumpulkan oleh De Wilde.


(Dadan Muhammad Ramdan)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement