DEN HAAG - Janda dari warga Indonesia yang dibunuh oleh prajurit Belanda pada 1946 dan 1947 lalu di Sulawesi, berencana untuk mencari keadilan melalui Pengadilan Belanda. Sebelumnya hal ini juga diajukan oleh janda warga Indonesia korban pembantaian di Rawagede.
"Kami mencari peluang mengajukan tuntutan hukum," ungkap pengacara Belanda Leisbeth Zegveld seperti dikutip AFP, Rabu (21/12/2011).
"Pengajuan kasus ini bukan soal uang, melainkan mencari keadilan atas kekejaman yang mereka alami," jelas Zegveld yang sebelumnya mewakili janda korban pembantaian Rawagede.
Dirinya mengatakan, tindakan hukum dapat dimulai dalam waktu dua atau tiga tahun ke depan di Belanda. "Hingga kini, sekira 10 janda dapat mengajukan tuntutan mereka di pengadilan," jelasnya.
Tuntutan ini dilatarbelakangi pembantaian terhadap sekira 40 ribu warga Indonesia oleh prajurit Belanda di Sulawesi Selatan 1947 silam. Insiden pembantaian ini terjadi antara 26 Desember 1946 hingga Februari 1947.
Pembantaian oleh pasukan Belanda dilakukan saat pihak pasukan Negeri Kincir Angin mencari warga yang melakukan perlawanan terhadap mereka. Sementara Pemerintah Belanda mengaku korban tewas hanya berkisar pada tiga ribu hingga lima ribu jiwa.
Zegveld menambahkan tuntutan akan dipelajari, termasuk tindakan eksekusi yang dilakukan pasukan Belanda di Desa Pare-Pare, Bulukumba, Lombok dan Supa-Galung.
Rencana tuntutan ini tidak lepas dari menangnya janda-janda korban pembantaian Rawagede awal Desember lalu. Hal ini ditandai dengan permintaan maaf secara resmi dari Pemerintah Belanda yang diwakili oleh Duta Besar Belanda untuk Indonesia Tjeerd de Zwaan atas tewasnya 430 jiwa di Rawagede.
Permintaan maaf itu juga ditandai dengan penyerahan kompensasi yang diberikan kepada enam janda korban tragedi Rawagede di monumen Perjuangan Rawagede di Desa Balongsari, Kerawang, Jawa Barat, 9 Desember lalu.
Janda Rawagede ini mendapatkan uang kompensasi sebesar 20.000 Euro atau sekira Rp240 juta (Rp12.007 per Euro).
(Fajar Nugraha)