KONGRES kaum perempuan pertama 22 Desember 1928 di Yogyakarta merupakan wujud kepedulian kaum ibu dalam ikut serta memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konggres tersebut, para perempuan berdiskusi, dan menemukan rumusan konsep ideal peran dan fungsi nyata kaum perempuan dalam kehidupan rumah tangga serta kontribusinya terhadap kehidupan masyarakat luas. Tentu untuk bisa menggapainya, kaum perempuan atau ibu harus cerdas dan berkarakter.
Hal itu sangat logis karena peran ibu sangat penting keberadaannya dalam menyiapkan peradaban manusia yang unggul. Jika kaum ibu cerdas dan berkarakter mulia dalam mendidik anak, maka generasi mendatang dapat diprediksikan akan menjadi generasi unggul dan berjiwa besar. Karena di balik peran ibu yang cerdas nan tangguhlah muncul para pahlawan besar, para pemikir, ilmuwan yang hasil keringatnya mampu memberi kemaslahatan bagi banyak orang. Tanpa kaum ibu, mungkin mereka tak bisa hadir menjaga, melestarikan, memberi kemanfaatan serta memperindah keindahan jagad bumi dan seisinya.
Ibu memang memiliki pengorbanan dan jasa cukup besar dalam upaya melanjutkan suatu peradaban manusia. Demi kelahiran anak, ibu berani mempertaruhkan nyawa. Ibu rela dikencingi anak, menyucikan baju untuk anaknya, menyiapkan makan, minum, dan memberikan semua yang berkaitan dengan kebutuhan anak. Jika anak sakit, ibu bingung dan segera mencarikan obat supaya cepat sembuh. Jika anak menangis, ibulah orang pertama kali yang dipanggil anak dan ibu pula yang pertama kali menolongnnya.
Karena itu memperingati Hari Ibu adalah mengingat perjuangan dan pengorbanan ibu dalam melahirkan kita. Mengingat ibu kita waktu menyusui, merawat, menjaga, hingga kita tumbuh menjadi besar. Selama bertahun-tahun ibu mendidik, menasihati kita, hingga kita menjadi dewasa. Tapi ibu tak pernah minta ganti rugi jasa jaga tiap malam, menyuci baju, menyiapkan makan, mendidik dan lain sebagainya. Karena itu, sebenarnya yang layak menyandang predikat pahlawan tanpa tanda jasa adalah ibu.
Beruntunglah orang yang mengingat jasa pengorbanan ibu, mengiyakan dan melaksanakan nasihat ibu. Karena hal demikian itu merupakan bentuk birrul walidain serta dapat mendatangkan keridaan dari Allah SWT. Sebab Allah tidak akan meridai seorang anak jika orangtua, dalam hal ini adalah ibu, tidak meridainya.
Pernyataan itu sudah dibuktikan oleh sejarah. Tengok kisah Al Qomah yang rajin beribadah kepada Allah SWT tetapi menjelang ajalnya mengalami kepayahan. Untung Rasulullah mengetahui keadaan Al Qomah yang sebenarnya. Hingga kemudian Rasulllah menemui dan memintakan maaf Ibu Al Qomah atas kesalahan yang pernah dilakukan Al Qomah. Berkat rida sang ibu, Al Qomah meninggal dalam keadaan khusnul khotimah. Bayangkan, jika sang ibu tidak meridai hingga akhir hayat, ibadah yang dilakukan oleh Al Qomah hingga bertahun-tahun menjadi sia-sia, karena Allah tidak rida. Naudzubillahi min dzalik.
Begitu pentingnya peran seorang ibu hingga dia dikatakan sebagai madrasah ahlak. Ibu adalah madrasah pertama bagi anak. Di bawah asuhan seorang ibu, anak mendapat pendidikan berupa perkataan, perbuatan, kebiasaan dalam kesehariannya.
Kebiasaaan yang terus ditampilkan oleh seorang ibu pada tahap selanjutnya akan memperkaya kosa kata dan berbagai ekspresi yang disimpan kedalam memori anak. Dan kekayaan kosa kata dan ekspresi dari ibu itu akan digunakan oleh anak untuk mendeskripsikan segala sesuatu oleh anak.
Kebiasaaan-kebiasan yang diturunkan oleh seorang ibu kepada anak itulah yang nantinya mencermikan kepribadian seorang anak. Pepatah jawa mengatakan bahwa buah itu jatuh tidak jauh dari pohonnya. Karena itu jangan heran jika kemudian ada anak yang soleh, kurang soleh bahkan tidak soleh.
Yang sering dipertanyakan oleh khalayak adalah, "Anak siapa itu?" Ini berarti, kehormatan kedua orangtua itu bisa juga terletak pada kesungguhan orangtua atau ibu dalam mendidik dan membangun ahlak mulia anak.
Karena itu, ibu yang berahlak mulia dan cerdas dalam mendidik, dewasa ini sangat dibutuhkan dalam membangun pendidikan ahlak bagi seorang anak. Ibu yang pandai adalah tahu bagaimana menggambarkan secara jelas kriteria anak yang baik, cerdas, berahlak mulia. Dan ibu dengan dukungan ayah yang sungguh-sungguh dan memiliki kemauan keraslah yang sanggup mewujudkan kenyataaan itu.
Peran Ibu Dalam Ruang Publik
Di samping ibu berperan dalam ruang domestik, banyak dari kaum ibu yang turut ambil peran dalam urusan publik. Lalu menyalahi kodratkah jika kaum ibu berperan dalam ruang publik? Tampaknya bukan persoalan menyalahi kodrat atau tidak. Sebab kalau bicara kodrat adalah kalau wanita mengandung, melahirkan, menyusui sedangkan kaum laki-laki tidak. Persoalannya adalah mampukah semua kaum wanita berperan dalam ruang publik dan membagi perannya antara di dunia kerja dan waktu untuk keluarganya?
Persoalan ambil peran dalam ruang publik bukanlah persoalan gender, tetapi kapabilitas dan kredibilitas. Siapapun entah laki-laki dan perempuan selagi mampu memenuhi kualifikasi dalam menjalankan peran publik tak jadi persoalan. Tengok saja bagaimana Ratu Bilkis menjalankan roda kehidupan rakyatnya, kesanggupan Cut Nyak Dien dalam melanjutkan perjuangan suaminya dalam mengusir penjajah, Siti Khotijah yang mahir berkiprah dalam dunia bisnis yang semua kekayaannya mampu membumikan misi dakwah nabi. Adalah sederet contoh kiprah wanita dalam ruang publik.
Namun demikian, kaum ibu juga tidak boleh meninggalkan perannya dalam memberikan perhatian dan sentuhan kasih sayang yang tulus kepada suami dan anak-anak. Karena itu jika kaum ibu ingin berperan dalam ruang publik konskuensinya harus berupaya ekstra keras dan harus bisa membagi waktu untuk keluarga dan dunia kerjanya. Harus mampu bersikap feminim dalam keluarga, dan bersikap maskulin dalam ruang publik.
Arif Rahman Hakim
mahasiswa Fakultas Dakwah
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
(Rifa Nadia Nurfuadah)