JAKARTA - Pergeseran orientasi yang diusung aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia (SI) menjadi penyebab utama BEM Keluarga Mahasiswa (KM) Universitas Gadjah Mada (UGM) mundur.
Hal tersebut terungkap usai berlangsungnya Musyawarah Nasional BEM SI di Universitas Lampung (Unila), akhir Februari lalu. Terhitung 29 Februari 2012, pukul 00.30, BEM KM UGM mengundurkan diri dari Aliansi BEM SI.
Presiden Mahasiswa UGM Giovanni Fadhillah van Empel menjelaskan, pihaknya mencatat beberapa poin evaluasi dari pelaksanaan munas yang dihadiri perwakilan 67 BEM seluruh Indonesia tersebut.
"Sebagai salah satu elemen yang sejak awal pembentukan bergabung dalam BEM SI, UGM melihat adanya kecenderungan orientasi yang kian bergeser dari tahun ke tahun," ujar Giovanni dalam keterangan tertulisnya kepada okezone, Jumat (2/3/2012).
Giovanni memaparkan, simpulan tersebut ditarik berdasarkan analisis dan evaluasi BEM UGM terhadap arah gerak BEM SI selama empat tahun terakhir. Catatan mengenai proses Munas BEM SI tahun ini pun turut melengkapi penilaian mereka.
Poin pertama yang dikritik oleh BEM UGM adalah bergesernya proses gerakan BEM SI. Saat ini, menurut Giovanni, arah gerak BEM SI tidak lagi menunjukkan karakter intelektualitas yang jelas. Dia menilai, proses penentuan isu gerakan pada munas lebih mengedepankan kalkulasi politik ketimbang menggunakan basis kajian mendalam. Padahal, banyak isu kebijakan nasional yang memerlukan pengkajian dan catatan kritis, seperti RUU Perguruan Tinggi, RUU Pangan, dan rencana kenaikan harga BBM.
"Hal ini menunjukkan adanya pergeseran dari visi BEM SI sebagai gerakan moral-intelektual. Pengabaian aspek kajian pada pembahasan isu yang akan disikapi ini pun menjadi catatan penting atas keberadaan UGM di BEM SI," imbuhnya.
Poin kedua, adanya eksklusivisme keanggotaan di BEM SI. Buktinya, saat ini tidak ada perwakilan kampus Indonesia Timur; yakni dari Sulawesi, Maluku, dan Papua; dalam aliansi. Akibatnya, eskalasi gerakan hanya terkonsentrasi pada isu-isu di wilayah Jawa, sebagian Sumatera, dan Kalimantan.
Eksklusivisme ini diperparah lagi oleh makin tertutupnya proses keanggotaan di BEM SI. Salah satu buktinya, terjadi kisruh internal antara Koordinator Wilayah Jawa Barat dengan 16 kampus Jawa Barat yang ingin masuk ke munas.
"Padahal, masih banyak kampus lain di Indonesia yang belum terjangkau oleh aliansi BEM SI," keluhnya.
Mahasiswa Ilmu Kedokteran itu menambahkan, catatan ketiga adalah arah gerakan BEM SI kini cenderung terlalu politis. Tercatat, agenda BEM SI empat bulan ke depan sangat menekankan penyikapan isu politik di level nasional. Tidak hanya itu, setidaknya satu tahun terakhir, pergerakan BEM SI lebih banyak dalam bentuk aksi politik yang memobilisasi massa.
"Selain menjebak BEM SI pada sebuah relasi kuasa yang kompleks di level nasional, hal ini juga tidak sejalan dengan visi BEM KM UGM yang mengusung 'gerakan oposisi ilmiah' untuk menyikapi fenomena sosial-politik di Indonesia," ujar Giovanni tegas.
Catatan terakhir BEM KM UGM terhadap BEM SI dan Munas BEM SI tahun ini adalah perlunya penyegaran gerakan mahasiswa dengan memosisikan ulang keberadaan mahasiswa dan isu-isu yang akan diangkat. Hal ini penting, mengingat masih banyak kampus lain yang belum tampil dalam pentas gerakan tingkat nasional.
Empat catatan itu menjadi dasar BEM KM UGM untuk mempertimbangkan ulang keberadaan mereka dalam Aliansi BEM SI. Menurut Giovanni, tahun ini BEM SI sarat dengan berbagai agenda politik.
Dia menegaskan, bertahan di BEM SI hanya akan membebani BEM KM UGM dalam penyikapan isu-isu politik tanpa memberi ruang kajian dan riset yang cukup. Meski demikian, pihak BEM KM UGM mengaku, tidak akan memutus hubungan dengan elemen di BEM SI.
"BEM KM UGM akan tetap setia mewacanakan 'Gerakan Oposisi Ilmiah' untuk mengawal proses demokratisasi Indonesia yang terbuka untuk kerja sama dengan kampus manapun di Indonesia," ujar Giovanni menandaskan.
(Rifa Nadia Nurfuadah)