KARANGANYAR - Tudingan pencatat nikah menerima gratifikasi dari pihak pengantin, mendapat respon dari Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Dia menilai tudingan tersebut sangat berlebihan. Pasalnya, ada batasan nilai nominal tertentu bagi pihak yang disebut menerima gratifikasi.
Sedangkan apa yang diterima para pencatat nikah, dianggap JK bukan sebagai gratifikasi. Melainkan uang lelah atau sebagai uang pengganti transportasi.
"Saya kira berlebihan itu. Kalau penerima gratifikasi itukan ada jumlahnya. Ini paling dapat transportasi yang besarnya Rp500 ribu. Itu ongkoslah dan bukan gratifikasi,"jelas Jusuf Kalla seusai sarasehan Baziz di Masjid Agun,Karanganyar, Jawa Tengah, Sabtu (14/12/2013).
Menurut JK, agar tidak menjadi polemik berkepanjangan yang bisa menyebabkan para pencatat nikah menolak menikahkan masyarakat di luar Kantor Urusan Agama (KUA), tudingan gratifikasi tersebut harus segera diakhiri. Sebab, bila tidak segera diakhiri, masyarakat yang membutuhan jasa para pencatat nikah akan mengalami kesulitan.
Sebelumnya Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas) Kementrian Agama (Kemenag), Abdul Jamil mengatakan penolakan para penghulu menikahkan di luar kantor untuk menghindarkan punngutan liar (pungli).
Selain menghindari pungli, kata Jamil, apa yang dilakukan penghulu untuk tidak melayani menikahkan di luar KUA sudah mengacu Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007, supaya kegiatan mereka bisa terawasi.
Sebagaimana diketahui, puluhan petugas KUA di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, mulai hari ini menolak untuk melayani pernikahan pasangan pengantin di luar kantor, dan di hari libur.
Kebijakan ini merupakan mengantisipasi praktek-praktek gratifikasi petugas KUA, saat melaksanakan propesi perkawinan yang menikahkan warga di luar kantor dan menerima biaya di atas normal.
Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Pasal 21 Ayat (1), proses pernikahan di jam kerja dikenai biaya Rp30 ribu.
(K. Yudha Wirakusuma)