JAKARTA - Wacana kenaikan cukai rokok di tahun 2015 mendatang senilai 8,72 persen dinilai terlampau tinggi. Bahkan, beberapa kenaikan tarif untuk kretek mesin yang lebih besar dari rokok putih mencerminkan hilangnya national interest pemerintah terhadap produk kretek nasional khas dalam negeri.
 
Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran mengatakan, pihaknya sudah mengirimkan surat yang berisi usulan kenaikan cukai untuk tahun depan sebesar lima persen saja. 
“Kita sudah berkirim surat ke Badan Kebijakan Fiskal beberapa waktu lalu,” ujar Ismanu dalam keterangannya, Kamis (23/10/2014).
 
Menurutnya, usulan kenaikan cukai sebesar lima persen sejatinya sudah mampu memenuhi target penerimaan cukai rokok Rp120 triliun.“Gulung tikarnya pabrik rokok itu, nyata-nyata juga karena cukai rokok yang semakin besar,” bebernya.
 
Gappri mencatat, pada 2009 lalu, jumlah pabrik rokok tercatat 4.793 unit, namun data tahun lalu hanya tersisa 800 unit saja. Kendati begitu, besaran pendapatan pemerintah dari cukai rokok terus meningkat, yakni Rp54,4 triliun (2009) dan Rp102,7 triliun (2013).
Pihaknya mengaku terkejut dengan pemberitaan yang menyebut kenaikan rata-rata cukai rokok untuk tahun depan sebesar 8,72 persen. “Kami terkejut dengan angka persentase kenaikan itu karena perundingan kenaikan cukai itu belum tuntas,” ujarnya.
 
Seperti diketahui, saat ini pemerintah menggolongkan tiga golongan industri rokok dengan besaran cukai yang berbeda. Golongan I yaitu industri dengan produksi di atas dua miliar batang rokok per tahun.
Golongan II yaitu industri dengan produksi 300 juta sampai dua miliar batang rokok per tahun. Dan golongan III yaitu industri dengan produksi di bawah 300 juta batang rokok per tahun.  
 
“Pemerintah harus melihat, industri masih dikenakan PDRD sebesar 10 persen dari besaran cukai yang dibayarkan. Jadi, ada tambahan sebesar 10 persen yang melekat, tapi terpisah dari pajak dan terpisah dari cukai,” jelasnya.
(Rizka Diputra)