BANDUNG - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat mempertanyakan peran para kiai dan ulama dalam upaya menekan penggunaan minuman keras (miras) di masyarakat. Harusnya kiai dan ulama memiliki peran sentral sebagai penyadar umat.
"Kejadian di Garu misalnya, ini kan kota santri, kota religius, kiai dan ulama banyak disitu. Jadi bagaimana ini, pada kemana mereka," kata Sekretais Umum MUI Jawa Barat, Rafani Achyar, di Bandung, Sabtu (6/12/2014).
Menurutnya, dari segi kesehatan, bahaya menenggak miras sudah diketahui banyak orang. Sedangkan dari segi agama juga jelas, miras diharamkan karena bisa memberi dampak negatif. "Tapi kenyataannya kok sampai ada kematian massal gara-gara minum miras," ungkapnya.
Hal itu seharusnya menggugah hati para kiai dan ulama. Mereka diharapkan lebih giat lagi dalam upaya menyadarkan masyarakat agar menjauhi miras.
"Di satu sisi mereka (kiai dan ulama) memang tidak bisa disalahkan begitu saja. Tapi bagaimanapun juga kejadian ini harus para pegiat dakwah," jelas Rafani.
Peran kiai dan ulama jelas sentral bagi berlangsungnya kehidupan masyarakat yang tenteram. Tapi itu pun jika kiai dan ulama mampu menjalankan peran dengan baik di masyarakat.
"Kemungkaran itu bisa diminimalisir atau dihilangkan kalau ulama hadir di situ (di masyarakat). Tapi hadirnya ulama bukan untuk sekedar diam," tuturnya.
Agar peran ulama semakin berjalan baik, pemerintah pun harus memberi dukungan. Sebab apa yang terjadi saat ini tak lepas dari pemerintah yang tidak menjadikan agama sebagai tuntunan utama.
"Saya melihat ini akibat pemerintah tidak menjadikan agama sebagai kaidah penuntun dalam menjalankan roda pemerintahan. Kalau agama tidak dijadikan kaidah penuntun, kemungkaran apapun bisa bebas. Dari perspektif sufistik, negara kalau begini terus tinggal menunggu kehancuran," tandas Rafani.
(Susi Fatimah)