Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Wali Kota Banda Aceh Klarifikasi Jam Malam Perempuan

Salman Mardira , Jurnalis-Rabu, 10 Juni 2015 |13:47 WIB
Wali Kota Banda Aceh Klarifikasi Jam Malam Perempuan
Suasana malam di Aceh
A
A
A

BANDA ACEH – Pemerintah Kota Banda Aceh membantah memberlakukan jam malam bagi perempuan. Wali Kota Banda Aceh Illiza Saaduddin Djamal menyatakan, intruksi yang dikeluarkannya hanya sebatas regulasi mengatur jam kerja bagi pekerja perempuan yang tak boleh melewati pukul 23.00 WIB.

“Jadi kalau ada istilah jam malam untuk Banda Aceh itu adalah (tuduhan) orang-orang yang ingin merusak (kenyaman) Kota Banda Aceh,” kata Illiza, Rabu (10/6/2015).

Instruksi Wali Kota Banda Aceh nomor 2 tahun 2015 tentang pengawasan dan penertiban pelayanan tempat wisata, rekreasi, hiburan, penyedia layanan internet, café dan sejenisnya serta sarana olahraga menuai kontroversi publik.

Ada yang mendukung, tapi tak sedikit yang protes karena dinilai diskriminasi terhadap perempuan. Di media sosial, para pengguna internet mengkritik keras kebijakan itu dengan berbagai komentar disertai tanda pagar #BandaAcehMasukAkal, yang sempat menjadi trending topic di twitter.

Illiza berang dengan kritikan yang dilayangkan kepadanya di dunia maya. “Jangan gunakan ICT, Facebook, Twitter dan lainnya untuk memperburuk suasana kondisi yang kondusif di Banda Aceh ini.”

Sejumlah media nasional hingga mancanegara menyorot kebijakan wali kota perempuan pertama di Aceh itu. Bahkan media sekaliber The New York Times ikut memberitakan pemberlakuan 'jam malam' bagi perempuan, mengutip laporan kantor berita The Associated Press.

“Ibu Kota Provinsi Aceh di Indonesia telah memberlakukan jam malam untuk perempuan yang dinilai untuk mengurangi kekerasan seksual, tapi kritikus mengatakan kebijakan ini diskriminasi,” tulis media terkemuka di Amerika Serikat itu.

Illiza menyadari betul dirinya sedang dalam sorotan akibat regulasi yang dikeluarkannya. Dia tak sepakat kebijakannya itu disebut jam malam bagi perempuan, karena istilah itu dinilai meresahkan. “Mungkin ini sangat mengganggu dan meresahkan kita semua,” sebutnya.

Menurutnya kebijakan tersebut berawal dari Intruksi Gubernur Aceh Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penertiban Kafe dan Layanan Internet se-Aceh, yang salah satunya ditujukan kepada bupati dan wali kota di provinsi itu. Beberapa poin dalam instruksi itu mengatur soal perempuan.

Dalam poin ketiga ayat a misalnya disebutkan, pramusaji wanita tidak dibenarkan bekerja di atas pukul 21.00 WIB. Ayat selanjutnya ditulis, dilarang melayani pelanggan wanita di atas 21.00 WIB kecuali bersama mahramnya, kemudian pelanggan laki-laki dan perempuan harus mengenakan pakaian sopan dan menutup aurat.

Menanggapi instruksi gubernur, Illiza kemudian mengeluarkan Intruksi Wali Kota Banda Aceh yang mengatur lebih spesifik, termasuk jam kerja bagi perempuan yang dibatasi hingga pukul 23.00 WIB, melebihi dua jam dari instruksi sebelumnya, mengingat Banda Aceh sebagai ibu kota provinsi.

Hal itu sebagaimana tertera dalam poin 13 yang berbunyi, “mengawasi pembatasan jam kerja hingga pukul 23.00 WIB bagi karyawati pada tempat wisata/rekreasi/hiburan, penyedia layanan internet, kafe/sejenisnya, dan sarana olahraga.”

Pada poin selanjutnya disebutkan, mengawasi pembatasan pelayanan tempat wisata/rekreasi/hiburan, penyedia layanan internet, kafe/sejenisnya, dan sarana olahraga pada malam hari hingga pukul 22.00 WIB, kecuali bersama orangtua/keluarganya.

Pembatasan layanan untuk tempat yang sama juga berlaku bagi perempuan yang hanya dibolehkan sampai pukul 23.00 WIB, kecuali jika ia berada di situ bersama keluarga atau suaminya.

Menurut Illiza ketentuan pembatasan jam kerja dan pelayanan itu juga sesuai aturan izin usaha diberikan pemerintah kota, dan hanya berlaku untuk tempat maupun usaha yang disebutkan di atas. Sementara untuk pelayanan public seperti instansi kesehatan perempuan tetap diperbolehkan bekerja malam hari.

Dia menilai aturan tersebut bertujuan untuk melindungi perempuan dan anak-anak dari pengaruh negatif. Regulasi ini dianggap sebagai salah satu upaya untuk mengurangi terjadinya maksiat di Banda Aceh, serta ingin mewujudkan model Kota Madani dan tamaddun, mengembalikan peradaban Islam lagi di Aceh seperti masa lalu.

Selain soal jam kerja serta layanan, dalam instruksinya itu wali kota juga meminta kafe, wisata, tempat hiburan dan sejenisnya menerapkan nilai syariat Islam dalam usaha dan layanannya. Instansi terkait juga diminta memblokir situs-situs porno. “Apabila ada maksiat tanpa ada satu orang pun yang mencegahnya maka seisi kota ini akan berdosa, karena ini fardhu kifayah.”

(Muhammad Saifullah )

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement