Meski dikenal pendiam, Jenderal Yani dikenang sebagai ayah yang perhatian dan senang bercanda dengan anak-anaknya, seperti di suatu ketika pada 5 Desember yang biasa dikenal Hari Sinterklas.
“Bapak orangnya pendiam. Tapi sangat memperhatikan kita. Ibu sendiri kalau di rumah tugasnya masak, bapak tugasnya mengurus anak-anak soal seragam, tas sekolah, buku-buku. Bapak sangat sayang sama dua anak laki-lakinya (Untung Mufreni Yani dan Irawan Sura Eddy Yani). Dijanjikan dibelikan sepatu kalau mau pijat, injak-injak punggung bapak,” imbuh Amelia berkisah.
“Kalau 5 Desember, Hari Sinterklas, kita selalu pasang sepatu dipakaikan rumput. Bayangan kita saat itu memang ada sosok Sinterklas. Kalau enggak dikasih (hadiah), bapak kirim surat sama Sinterklas. Bapak bilang, ‘Ah, paling Sinterklasnya lagi enggak punya duit, nanti lain kali kalau Sinterklas punya uang nanti dikasih’,” paparnya lagi.
Jika sudah urusan pekerjaan atau politik, Jenderal Yani jarang membawanya pulang ke rumah. Seandainya ada yang harus dibicarakan dengan sang istri, Jenderal Yani pilih pakai bahasa Belanda.
“Bapak kalau cerita di ruang makan tentang Bung Karno sama ibu, pakai bahasa Belanda. Kami cuma bisa mendengarkan tanpa bisa mengerti. Ibu juga orangnya smart (pintar), kalau bicara politik malah lebih pintar ibu dari pada bapak. Ibu lebih outspoken,” tandas Amelia Yani.
(Randy Wirayudha)