PADA 31 Oktober 2015, sebuah pesawat komersial Rusia milik Maskapai Metrojet Kogalymavia, tiba-tiba kehilangan kontak 23 menit setelah lepas landas dari Bandara Sharm el-Sheikh, Mesir, dalam penerbangan menuju St. Petersburg, Rusia.
Pesawat jenis Airbus A321 yang membawa 217 penumpang dan tujuh awak pesawat itu terakhir kali terpantau radar ATC (Air Traffic Control), saat melintasi wilayah Sinai di ketinggian 31.000 kaki atau sekira 9,4 kilometer.
Beberapa saat setelah hilangnya kontak tersebut, Pemerintah Mesir melalui Perdana Menteri (PM) Sharif Ismail mengabarkan bahwa pesawat dengan nomor penerbangan 7K9268 itu telah jatuh di wilayah Sinai Tengah, Mesir.
“Sebuah pesawat sipil Rusia telah jatuh di Sinai Tengah, pesawat militer (Mesir) telah menemukan puing-puing pesawat,” demikian pernyataan dari PM Sharif, Sabtu (31/10/2105) lalu.
Pernyataan ini sekaligus menjawab berbagai kabar simpang siur mengenai nasib pesawat tersebut. Petugas keamanan Mesir yang dikerahkan ke lokasi jatuhnya pesawat melaporkan telah menemukan jasad dari 120 penumpang yang tewas.
Setelah dilakukan upaya penyelamatan akhirnya mereka menyatakan seluruh penumpang dan awak Pesawat Metrojet Kogalymavia Penerbangan 9268, tewas dalam insiden tersebut.
Tercatat 219 warga negara Rusia, empat orang warga Ukraina, dan seorang warga Belarusia tewas dalam tragedi terburuk dalam sejarah penerbangan Rusia dan Uni Soviet itu.
Segera setelahnya, pernyelidikan mengenai penyebab jatuhnya pesawat segera dilakukan. Komite Investigasi Rusia bahkan dikabarkan telah menyiapkan tuntutan terhadap maskapai Metrojet Kogalymavia atas pelanggaran peraturan penerbangan.
Pemerintah Mesir mengatakan masih terlalu dini untuk menyebutkan penyebab jatuhnya pesawat. Peristiwa ini mengundang simpati dan reaksi dari berbagai pihak, terutama dari Rusia yang 219 warganya menjadi korban.
Presiden Rusia, Vladimir Putin, segera menyampaikan rasa duka cita dan menetapkan 1 November 2015 sebagai hari berkabung nasional. Rusia juga memerintahkan Maskapai Kogalymavia untuk menghentikan seluruh penerbangan pesawat tipe Airbus A321 milik mereka, hingga penyebab jatuhnya pesawat berhasil diidentifikasi.
Ucapan belasungkawa juga datang dari pemimpin dunia lainnya, seperti PM Inggris, David Cameron dan PM Serbia, Aleksandar Vucic. Pemerintah Amerika Serikat (AS) juga menyampaikan rasa simpati mereka melalui Menteri Luar Negeri, John Kerry.
Namun, perkembangan mengejutkan muncul beberapa saat setelah pengumuman tersebut, saat kelompok militan ISIS mengklaim bertanggung jawab atas insiden terburuk dalam sejarah penerbangan Rusia itu.
Melalui Twitter dan situs beritanya, Aamaq, ISIS mengaku telah menembak jatuh pesawat nahas tersebut.
“Para Pejuang ISIS mampu menembak jatuh pesawat Rusia yang membawa 220 tentara salib Rusia di atas Provinsi Sinai. Mereka semua tewas, terima kasih kepada Tuhan,” demikian isi pernyataan ISIS melalui Twitter pada Minggu, (1/11/2015) silam.
Klaim tersebut ditanggapi skeptis oleh berbagai pihak, terutama Pemerintah Mesir yang menganggap ISIS tidak memiliki kemampuan untuk menembak jatuh pesawat yang berada di ketinggian 31.000 kaki.
Masyarakat internasional diminta untuk tidak berspekulasi dan menunggu hasil penyelidikan yang tengah berlangsung.
Sehari setelah klaim yang diumumkan ISIS, Kepala Komite Penerbangan Antarnegara Rusia, Victor Sorochenko, mengungkapkan dugaan pesawat Airbus A321 nahas itu telah hancur di udara sebelum jatuh ke bumi.
Hal itu terlihat dari lokasi puing-puing pesawat yang tersebar di lokasi seluas 20 hektare yang menunjukkan bagian-bagian itu tercerai berai di udara. Dugaan ini memunculkan kemungkinan pesawat memang hancur dihantam rudal yang memperkuat klaim yang dilontarkan ISIS.
Ledakan bom dari dalam pesawat juga disebut-sebut sebagai salah satu kemungkinan penyebab insiden tersebut. Dugaan itu muncul karena otoritas Mesir menyatakan tidak adanya sinyal darurat dan panggilan darurat (SOS) yang datang dari Metrojet 7K9268 yang menunjukkan peristiwa itu terjadi secara tiba-tiba.
Hasil penyelidikan kotak hitam pesawat yang berhasil ditemukan menunjukkan ada suara aneh yang terdengar sesaat sebelum pesawat nahas itu hilang dari radar menara kontrol bandara.
Tim penyelidik gabungan yang dipimpin otoritas Mesir menduga suara tersebut merupakan ledakan bom. Meski begitu, pihak Rusia dan Mesir masih membantah dugaan bom sebagai penyebab jatuhnya pesawat.
Barulah pada 17 November 2015, Kepala Badan Keamanan Federal Rusia, Alexander Bortnikov, membenarkan bahwa insiden tersebut adalah akibat ledakan bom yang diletakkan di dalam pesawat.
“Kita dapat mengatakan bahwa jatuhnya pesawat itu karena perbuatan teroris. Dalam penerbangan, sebuah peledak buatan tangan dengan kekuatan 1,5 kilogramn Trinitoluena (TNT) diledakkan,” kata Bortnikov, Selasa (17 /11/2015).
Dua hari setelah pernyataan Bortnikov, ISIS kembali , mengklaim pihaknya bertanggung jawab dengan menyebarkan sebuah foto kaleng jus dan detonator yang mereka sebutkan, sebagai bahan pembuat bom yang mengakibatkan jatuhnya pesawat.
Setelah terungkapnya penyebab jatuhnya pesawat, Putin bersumpah untuk membalas perbuatan para teroris ISIS. Dia bahkan menwarkan sejumlah besar uang hadiah bagi siap saja yang dapat memberikan informasi mengenai pelaku peledakan.
Peristiwa ini juga membuat keamanan bandara di Mesir, terutama di Sharm el-Sheikh menjadi sorotan karena dinilai longgar sehingga teroris bisa dengan mudah meletakkan bom di dalam pesawat.
Sejumlah penyelidikan dan pemeriksaan terhadap keamanan bandara pun dilakukan dan mengungkap kebobrokan keamanan bandara.
Insiden ini dan peristiwa teror di Paris, Prancis menyebabkan terjadi peningkatan ancaman bom terhadap penerbangan-penerbangan maskapai internasional.
Tercatat ada tujuh pesawat dari lima maskapai internasional yang mendapatkan ancaman keamanan setelah terjadinya dua peristiwa tersebut.
(Randy Wirayudha)