Setelah benteng Montasik (Aceh Besar) dikuasai Belanda tahun 1878, pusat pemerintahan Kerajaan Aceh kemudian dipindah lagi dari Indrapuri ke Keumala, Pidie. Ibu kota kerajaan 20 tahun bertahan di sana. Sultan Alaidin Mahmud Syah yang sudah beranjak muda, mulai mengatur pemerintahan di sana.
Pasukan kerajaan Aceh terus memberi perlawanan kepada Belanda di berbagai wilayah. Hingga akhirnya Belanda menculik dua permaisuri sultan dan seorang putra mahkotanya, Tuanku Raja Ibarahim kemudian menawannya. Tak-tik ini dilakukan Belanda untuk memaksa sultan menyerah.
Van Der Maaten, pemimpin pasukan Belanda, kemudian mengirim surat kepada Sultan Muhammad Daud Syah untuk mengajaknya bermusyawarah di Sigli, Pidie, Januari 1903. Sultan menuruti. Celakanya, sultan yang datang dengan beberapa pengawal langsung ditahan. Sultan dibujuk untuk menandatangani surat penyerahan kekuasaan kepada Belanda, tapi ia menolaknya.
“Beliau merobek surat tersebut,” tulis Tim Alis Aceh dalam bukunya berjudul “Sejarah Singkat Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat”.
Sultan dibawa ke Kutaraja (Banda Aceh), ditawan di sebuah rumah kawasan Keudah. Di balik rumah tawanan, sultan mengatur strategi penyerangan terhadap markas-markas Belanda di Banda Aceh. Dia juga mengirim surat kepada meminta bantuan Kaisar Jepang, mengusir Belanda dari Aceh. Surat dikirim melalui perwakilan Jepang di Singapura.