Walhasil, terjadilah hubungan vertikal sesama manusia, ada yang menjadi tuan dan yang diperhamba, yang zalim dan yang madzlum (terzalimi), ada yang kaya dan miskin, yang berasal dari Barat dan yang berasal dari Timur.
"Umat manusia terpecah-pecah menjadi berbagai ras, bangsa, kelas, subkelas, kelompok, dan keluarga yang masing-masing di antaranya memiliki status, nilai, nama, dan kehormatannya sendiri. Tetapi apa gunanya semua itu dimiliki? Yang tidak lain hanya untuk menonjolkan " diri sendiri yang tertutup oleh lapisan 'bedak' yang amat tebal itu,"urai Kiai Miftah.
Maka, keberadaan dan fungsi miqat, di matanya, sebagai tempat menanggalkan segala status dunia. Digantikan dengan selembar kain putih saja yang melekat di tubuh.
"Janganlah tinggi hati karena kalian semua di sini bukan untuk mengunjungi seorang manusia, tetapi hendaklah kalian semua (khususnya bangsa Indonesia) berendah hati karena kalian sedang mengunjungi Allah SWT. Hendaklah kalian semua menjadi manusia yang menyadari kefanaan yang menyadari eksistensi Allah SWT," jelas Kiai Miftah.
Ia berharap, jamaah Indonesia meninggalkan semua pakaian dunia di miqat dan berganti peran sebagai Nabi Adam AS dan para Anbiya' (nabi) dan Rasul bahkan para ulama, auliyah, dan manusia-manusia tangguh di sisi Alah selama wukuf, tawaf hingga sa'i nanti.
(Ulung Tranggana)