Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

NEWS STORY: Bekasi Lautan Api & Gentle-nya Hukuman Inggris

Randy Wirayudha , Jurnalis-Minggu, 25 September 2016 |10:33 WIB
NEWS STORY: Bekasi Lautan Api & <i>Gentle</i>-nya Hukuman Inggris
Serdadu Inggris bakar rumah-rumah warga di Bekasi (Foto: Imperial War Museum)
A
A
A

DALAM berbagai literatur sejarah Indonesia, orang awam lebih mengenal peristiwa Bandung Lautan Api. Sebuah peristiwa bumi hangus sebagai opsi “alternatif” antara keengganan Bandung dikuasai begitu saja oleh sekutu dan keharusan menaati ultimatum pemenang Perang Dunia II itu.

Nah, ternyata peristiwa bumi hangus tidak hanya terjadi di “Kota Kembang”. Melainkan juga di Bekasi, sebuah wilayah di pinggir timur Jakarta. Meski tajuknya berbeda, namun rangkaian peristiwanya jauh berbeda.

Peristiwa Bekasi Lautan Api tak lepas dari rangkaian peristiwa jatuhnya sebuah Pesawat Dakota sekutu yang berisikan sekira 25 personel militer Inggris dari Mahratta Light Infantry.

Pesawat dengan tujuan Jakarta-Semarang itu terpaksa mendarat darurat setelah mengalami kerusakan mesin di sebuah kawasan di Rawa Gatel, Cakung yang dulunya, masih wilayah Bekasi pada 23 November 1945.

Jatuhnya pesawat itu sontak jadi perhatian warga. Seperti halnya masyarakat saat ini yang acap berkerumun jika terjadi suatu insiden atau peristiwa, masyarakat di Cakung saat itu juga begitu. Namun kerumunan masyarakat itu dianggap seperti pengepungan oleh para personel sekutu yang selamat.

Singkat kata, terjadilah tembak-menembak hingga akhirnya para korban selamat jatuhnya pesawat itu ditahan. Sayangnya baik dalam perjalanan maupun dalam penahanan gerilyawan, masing-masing dari mereka hanya tinggal nama.

Peristiwa ini juga sempat jadi sorotan para koresponden perang asing yang dimuat di beberapa surat kabar, seperti The Argus (28 November ’45), serta Kalgoorlie Miner, The Sydney Morning Herald dan The Mercury (3 Desember ’45).

Kemarahan Sekutu

Panglima Tertinggi Sekutu di Indonesia Jenderal Philip Christison, jelas menuntut para tahanan dibebaskan dan dikembalikan ke Jakarta. Tuntutan itu dilancarkan pada pemerintah Indonesia yang kemudian, Sutan Sjahrir, Perdana Menteri saat itu, meminta penjelasan Letkol Moeffreini Moe’min.

Letkol Moeffreini dipanggil karena dianggap bertanggung jawab atas pengamanan di teritorial itu selaku Komandan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Resimen V/Cikampek. Dalam penjelasannya pada Sjahrir, Letkol Moeffreini tak bisa berbuat apa-apa karena para serdadu Inggris itu sudah dalam keadaan tak bernyawa.

Seperti dikutip dari buku ‘Sejarah Bekasi: Sejak Peradaban Buni Ampe Wayah Gini’ karya Endra Kusnawan, disebutkan kemarahan sekutu berujung pada tudingan, bahwa pelakunya berasal dari gerilyawan Laskar Banteng Hitam Indonesia di bawah naungan H. Darip.

Sejumlah unit kekuatan sekutu pun diterjunkan ke Bekasi pada 29 November 1945, meski akhirnya gagal setelah dihadang perlawanan TKR dan sejumlah laskar. Tapi pada 13 Desember 1945, pasukan Inggris dengan kekuatan lebih besar merangsek garis demarkasi di Kali Cakung.

Selain membawa serdadu lebih banyak dengan misi “Punitive Expedition” (ekspedisi pemberian hukuman), mereka turut membawa sejumlah jerigen minyak tanah untuk membuat Bekasi jadi lautan api. Desas-desus ini sedianya sudah tercium sebelumnya, sehingga gerilyawan sudah lebih dulu keluar dari Bekasi.

Tinggal tersisa para warga di rumah mereka masing-masing. Pasukan sekutu pun menyisir rumah-rumah warga demi memburu gerilyawan dan memerintahkan warga sipil Bekasi yang saat itu berpopulasi sekira lima ribu jiwa, keluar untuk mengungsi.

“Terlepas dari aksi mereka ini, di situlah gentle-nya (tentara) Inggris. Jadi mereka menyisir rumah-rumah warga untuk cari pemuda (gerilyawan), sementara warga disuruh keluar rumah sebelum rumah-rumah mereka dibumihanguskan,” ungkap penggiat sejarah Komunitas Historia Bekasi (KHB) Beny Rusmawan kepada Okezone.

Tidak puas membakari ratusan rumah dan bangunan mulai dari kawasan Kampung Dua Ratus hingga alun-alun dan beberapa daerah lain, pasukan sekutu turut menghujani Bekasi dengan tembakan-tembakan meriam tank, artileri dan bom-bom dari pesawat.

Meski sudah menyisir dan memaksa warga keluar dari rumahnya, bombardemen dan pemusnahan Inggris pada 13-17 Desember 1945 itu tercatat meninggalkan 14 orang luka-luka di pihak Indonesia. Belum lagi dengan sekira 3.379 warga terpaksa jadi tunawisma.

Pemerintah RI Protes pemusnahan Bekasi oleh Sekutu

Dua hari setelah sekutu menjadikan Bekasi Lautan Api, pemerintah Indonesia melalui Perdana Menteri Sutan Sjahrir, melancarkan protes lewat pidato radio yang kemudian, beritanya diumumkan pada 19 Desember 1945.

Dalam pengumuman resminya itu, Sjahrir menyatakan bahwa tindakan sekutu sudah kelewat batas. Protes dilancarkan dan tak lupa, Sjahrir mengingatkan kepada rakyat, agar tidak lagi memicu insiden yang bisa dijadikan alasan sekutu untuk “bertindak” lagi terhadap rakyat.

Peristiwa ini juga jadi headline di media-media nasional saat itu. Sebut saja Kedaulatan Rakjat (17 Desember 1945) dan Merdeka (21 Desember 1945). Tindakan Inggris ini ternyata juga mengundang kecaman dunia internasional, seperti yang dimuat media-media asing seperti Daily Mail, Daily Worker, News Chronicle dan Truth.

Kedua media asing itu bahkan menyetarakan aksi pemusnahan Bekasi seperti halnya pemboman dan pembakaran Nazi Jerman terhadap sebuah Kota Lidice di Cekoslovakia di masa Perang Dunia II.

Pascapemusnahan dan pembakaran, Bekasi bak kota hantu. Sementara itu para pengungsi yang sudah berada di luar wilayah Bekasi, sempat terlantar hingga akhirnya datang bantuan uang, pakaian dan bahan-bahan makanan dari pemerintah pusat di Jakarta dan Kabupaten Jatinegara.

(Randy Wirayudha)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement