HONG KONG – Bertahan hidup dari penindasan, kemiskinan, dan risiko menjadi budak seks. Demikian kisah pilu yang disampaikan salah seorang pembelot Korea Utara (Korut) di hadapan peserta Festival Literatur Internasional di Hong Kong. Pilihan tersebut harus dihadapi oleh para pembelot, terutama perempuan asal Korut.
Selama 20 tahun pula, Lee Hyeon-seo menyuarakan perbedaan pendapatnya dengan rezim otoriter Korut. Perempuan cantik itu menuliskan memoar berjudul ‘The Girl with Seven Names’ untuk meninggalkan jejak pengkhianatan terhadap tanah kelahirannya tersebut. Putri seorang pejabat militer itu kini menyuarakan perlindungan yang lebih baik bagi para pembelot Korut, terutama perempuan.
“Hampir semua yang melarikan diri dari Korut tinggal dalam kesengsaraan. Para perempuan itu diperkosa hampir setiap hari dengan jumlah pelanggan yang seakan tak berujung yang kemudian memperkaya para penculik dari perbatasan,” tutur Hyeon-seo, dimuat AFP, Jumat (4/11/2016).
Para perempuan itu tidak mendapatkan suaka politik ketika pertama kali menyeberangi perbatasan Korut ke China. Mereka sudah pasti dianggap sebagai imigran ilegal. Di titik ini, mereka berisiko dideportasi ke Korut hanya untuk menerima hukuman berat, atau mempercayai para penyelundup. Para pembelot, terutama kaum hawa, berada dalam situasi yang sangat rentan.
“Para perempuan dan gadis asal Korut harus menghadapi tantangan pernikahan paksa dan pelecehan seksual di China sebagai persyaratan melarikan diri ke negara dunia ketiga,” ujar Wakil Direktur Human Rights Watch Asia, Phil Robertson. Lee Hyeon-seo mengamini perkataan tersebut.
Perempuan kelahiran Januari 1980 itu bahkan hampir terjebak menjadi pekerja seks komersial. Ia pernah ditipu saat berada di China. Lee Hyeon-seo pernah dijanjikan pekerjaan di sebuah salon. Ternyata, tempat tersebut adalah sebuah rumah bordil hingga akhirnya ia berhasil melarikan diri.
Perempuan kelahiran Hyesan itu juga mengatakan kaum hawa rentan terhadap praktik kawin paksa. Mereka biasanya dijual kepada para laki-laki di pedesaan. Kebijakan satu anak di Negeri Tirai Bambu menjadi penyebabnya sehingga mereka kekurangan perempuan. Para keluarga tidak segan-segan mengeluarkan uang hingga jutaan yuan untuk membeli para perempuan sebagai jodoh sang bujangan.
“Salah satu perempuan yang saya kenal dipukuli oleh suami dan juga keluarganya. Ia bahkan dirantai agar tidak kabur. Beberapa korban akhirnya memutuskan bunuh diri, sisanya menggantungkan harapan dapat melarikan diri. Tentu saja (harapan) itu tidak pernah terwujud,” sambung Lee Hyeon-seo.
Lee baru berusia 17 tahun saat menyeberang secara ilegal ke China lewat Sungai Yalu menuju China dengan tujuan awal kunjungan singkat. Ia berhasil menyamar dengan sejumlah identitas palsu dan menghindari razia petugas. Pada 2008, Lee Hyeon-seo berhasil meraih suaka politik dari Korea Selatan di Seoul. Ia kemudian memboyong seluruh keluarganya ke Seoul.
Di kota tersebut, Lee Hyeon-seo menemukan hidup baru. Ia bertemu, jatuh cinta, dan menikah dengan pria asal Amerika Serikat (AS). Kini, Lee Hyeon-seo sangat ingin menggunakan pengalaman pahitnya itu untuk membawa perubahan bagi para pembelot Korut, terutama kaum perempuan.
(Wikanto Arungbudoyo)