JAKARTA - Seiring dengan penggunaan media sosial yang meningkat di Indonesia, sejumlah pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dianggap merugikan bahkan mengancam kebebasan berekspresi dalam berpendapat. Hal itu karena dalam UU ITE terdapat pasal karet yang dianggap multitafsir.
Hal itu diakui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), yang kemudian mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan yang dianggap perlu dan relevan dalam UU ITE.
"Karena dalam penerapannya terjadi dinamika pro dan kontra terhadap beberapa ketentuan di dalamnya, Pemerintah mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan minor yang dianggap perlu dan relevan," ucap Menkominfo Rudiantara usai disetujuinya RUU ITE di Gedung Nusantara, Jakarta.
Setelah disetujui dan mulai diberlakukan pada 28 November 2016, berikut ini beberapa poin perubahan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah melalui proses dan prosedur sejak 2015, bersumber dari rilis resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Pertama, menambahkan sejumlah penjelasan untuk mempertegas "ketentuan penghinaan/pencemaran nama baik" pada Pasal 27 ayat (3). Di antaranya, menegaskan ketentuan tersebut adalah delik aduan dan unsur pidana mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.