“Beos kemudian dibeli SS (Staatsspoorwegen), perusahaan kereta pemerintah Hindia Belanda karena memang awalnya mereka enggak punya stasiun di Batavia. Dibeli pada 1898 dan barulah mereka punya stasiun, ya stasiun Beos itu dengan membuat jalur Batavia-Duri-Angke-Tangerang-Merak,” tambahnya.
SS juga kemudian mengakuisisi NIS, pemilik jalur Batavia Noord-Bogor karena pada awal abad ke-20, NIS rugi besar. “Akhirnya dijuallah itu ke SS pada 1913 dan sejak saat itu, SS jadi pemilik dua stasiun tersebut (Batavia Noord dan Zuid),” imbuh mantan pegawai PT KAI Divisi Heritage dan penggiat sejarah Indonesian Railway Preservation Society (IRPS) tersebut.
Tentu akan mubazir jika SS mengoperasikan dua stasiun yang berdekatan itu sekaligus. Maka diputuskanlah membangun stasiun yang lebih besar dan lahan yang dipilih ya di lahan berdirinya Stasiun Batavia Zuid.
Pembangunannya dipercayakan pada arsitek Belanda kelahiran Tulungagung, Jawa Timur, yakni Frans Johan Louwrens Ghijsels dengan desain bergaya art deco.
“Akhir 1925, Stasiun Batavia Zuid sudah mulai dirobohkan untuk persiapan pembangunan selama tiga tahun. Sementara untuk operasional, semua jalur dipindahkan ke Batavia Noord sampai stasiun yang baru selesai dibangun 1929 dan sejak itulah, Stasiun Batavia Noord dibongkar,” sambung Adhit.