AMBARAWA 12-15 Desember 1945 jadi salah satu momen kegemilangan tentara republik bersama rakyat melawan serdadu sekutu – serdadu pemenang Perang Dunia II. Dari pertempuran ini juga, nama Soedirman juga mulai dikenal dan hingga kini kita menyebutnya dengan titel Panglima Besar (Pangsar).
Tidak dimungkiri, nama Pangsar Jenderal Soedirman enggak cuma dikenal di Indonesia, melainkan reputasinya sudah dikenal di negeri luar. Sampai-sampai, patungnya saja pun berdiri tegak di halaman depan Kementerian Pertahanan Jepang.
(Baca: Gagahnya Figur Jenderal Soedirman di Jepang)
Nama besar Pak Dirman kita tahu tak lepas dari kegemilangannya meracik strategi di Ambarawa, Jawa Tengah. 71 tahun silam, racikan strategi yang terinspirasi dari taktik klasik Kerajaan Majapahit itu sukses bikin sekutu terjepit.
Kronologi peristiwa Pertempuran/Palagan Ambarawa ini awal mulanya tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di daerah-daerah lain yang dimasuki tentara Inggris. Mereka datang ke republik yang baru lahir ini pada 17 Agustus 1945 dengan misi melucuti tentara Jepang dan membebaskan para interniran.
Bahkan awalnya mereka juga disambut hangat pemerintah Jawa Tengah saat itu, di mana Gubernur Jawa Tengah Mr Wongsonegoro menyambut kedatangan sekutu yang terdiri dari serdadu Inggris di Semarang, 20 Oktober 1945.
Namun sebagaimana yang juga yang terjadi di daerah lain, kedatangan mereka diboncengi NICA (Administrasi Sipil Hindia Belanda). Para interniran yang dibebaskan sekutu, ternyata ikut dipersenjatai dan sekutu mulai bertindak di luar batas perjanjian, di mana mereka takkan mengganggu kedaulatan Indonesia.
Di Magelang dan Ambarawa, terjadi beberapa aksi pelucutan senjata Tentara Keamanan Rakyat (TKR) oleh sekutu. Saat tengah menarik mundur pasukan dari Magelang ke Ambarawa, sekutu menduduki dua desa.
Percobaan perebutan dua desa itu dilakukan Letkol Isdiman, Komandan TKR Resimen XVIII yang nahasnya gugur dalam baku tembak, 27 November 1945. Kematian Letkol Isdiman melecut kemarahan Kolonel Soedirman, Komandan TKR Divisi V.
Revans pun coba “disutradarai” Kolonel Soedirman dengan mengumpulkan beberapa perwira TKR lainnya pada 11 Desember 1945. Pak Dirman mengemukakan taktik Supit Urang atau Mangkara Yudha.
Taktik ini merupakan taktik klasik dari zaman Kerajaan Majapahit dengan menjepit dari berbagai sisi dengan cepat dan serentak. Pak Dirman tahu bahwa kondisi persenjataan semua pasukannya tak selevel dengan sekutu, namun Pak Dirman merasa tetap harus mengadang sekutu demi menetralisir ancaman terhadap Yogyakarta.
“Ambarawa harus kita rebut dengan serangan serentak, karena Ambarawa merupakan kunci bagi mereka untuk menguasai seluruh Jawa Tengah dan Yogyakarta. Ini akan membahayakan posisi republik. Serangan serentak dimulai besok pagi (12 Desember 1945) pukul 04.30. Selamat berjuang, Allah SWT bersama kita, Amin. Merdeka!,” cetus instruksi Kolonel Soedirman.
Benar, pada 12 Desember 1945 sekira waktu subuh pukul 04.30, dentuman mitraliur menyalak-nyalak ke posisi-posisi sekutu dari pihak republik. Serangan itu serentak terjadi di sejumlah sektor dengan ujung tombak Resimen Kedu Tengah pimpinan Letkol M Sarbini dengan tiga batalyon di bawah komando Mayor Soerjo Soempeno, Mayor Koesen dan Mayor Ahmad Yani.
Ujung tombak serangan juga diperkuat Divisi V yang dipimpin langsung Kolonel Soedirman, Batalyon X dari Divisi IX Yogyakarta pimpinan Mayor Soeharto, Divisi X Surakarta pimpinan Letkol Soenarto Koesoemodihardjo, serta Divisi IV Salatiga pimpinan Letkol Soeadi.
Dalam palagan ini, Pak Dirman juga mengikutsertakan rakyat dan barisan-barisan pemuda, seperti Tentara Rakyat Mataram, Barisan Macan, Laskar Rakyat, BPRI dan Angkatan Muda Republik Indonesia.
Palagan itu sendiri berlangsung sengit dan terjadi hingga 15 Desember, di mana sekutu terjepit dari arah barat dan selatan. Terpaksa, sekutu pun pontang-panting mundur ke timur, tepatnya ke Semarang tanpa bisa membawa mayat-mayat serdadunya.
Dari sini, kira-kira apa yang bisa kita pelajari? Pengaruh dari palagan ini sendiri terbilang kecil sebenarnya, baik secara militer maupun politis.
Namun di balik itu, tentara republik sejak saat itu hingga masa revolusi berakhir pada 1949, bisa belajar manajemen operasi lapangan, logistik, serta kesehatan yang terpadu. Dari sini pula mulai tumbuh kemanunggalan tentara dengan rakyat.
Makanya sejak saat itu pula, setiap tanggal 15 Desember acap diperingati sebagai Hari Infantri dan baru pada 1999 lewat Keppres RI Nomor 163, Hari Infantri diganti jadi Hari Juang Kartika.
Di Lapangan Pangsar Jenderal Soedirman, Ambarawa pada 15 Desember 2016 lalu, Hari Juang Kartika ini diperingati secara besar-besaran. Selain apel, parade dan atraksi terjun payung, dihelat pula sosiodrama kolosal yang diramaikan sejumlah komunitas reka ulang se-Pulau Jawa.
Pada sosiodrama yang dihelat Kodam IV/Diponegoro ini selain diikuti para personelnya, diramaikan pula para reenactor (pereka ulang) Djokjakarta 1945, Magelang Kembali, Historia van Bandoeng, Semarang Historical Community, Roode Brug Soerabaia, Front Bekassi, Jakarta, Malang, Temanggung hingga Trenggalek.
Yang tambah membuat decak kagum jajaran TNI AD, termasuk KSAD Jenderal TNI Mulyono serta masyarakat yang hadir menonton, adalah diikutsertakannya tank ringan Stuart dari era Perang Dunia II, serta dua pesawat KT-1B Wongbee dari Jupiter Aerobatic Team TNI AU!
Dari rangkuman Peringatan Hari Juang Kartika ke-71 yang mengangka tema 'Melalui Hari Juang Kartika Kita, Mantapkan Jati Diri TNI AD dan Kemanunggalan TNI-Rakyat Guna Mewujudkan Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian', Jenderal Mulyono juga berpesan, bahwa TNI takkan bisa lepas dengan rakyat, sebagaimana hikmah yang bisa dipetik dari Palagan Ambarawa.
"Ini merupakan refleksi dari jati diri TNI sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional yang senantiasa harus manunggal dengan rakyat, serta mengedepankan kepentingan masyarakat, bangsa, dan NKRI,” cetus Jenderal Mulyono.
"Terima kasih kepada seluruh masyarakat yang telah mencurahkan kecintaan pada TNI AD, sehingga dapat mengemban setiap tugas dan amanah yang dipercayakan," tandasnya.
(Randy Wirayudha)