Ketujuh, kasus pailitnya NV Medan Prijaji. NV yang disebut Marco sebagai NV pertama dalam industri pers pribumi, dinyatakan pailit dan Tirto disangsi timbunan uang. Dikatakan misalnya, Tirto menyalahgunakan uang yang mestinya dipakai untuk mencetak Sarotomo di Solo, malah diambilnya untuk mencetak Medan Prijaji.
Pada saat kasus tuduhan penipuan ini membumbung, di tubuh SDI bergemuruh friksi-friksi. Oleh para pemberi hutang, dia digugat dan disandera.
Dia dia pun kalah, dibuang dan membayar denda pengadilan dengan cara semua hartanya disita. Pada saat dibuang itulah, pecah kerusuhan rasial di Lawean antara pembatik Jawa versus China.
Semua sepak terjang Tirto itu tercatat rapi karena memang di mata Belanda, seorang yang berbahaya akan masuk dalam daftar incaran nomor satu. Jika van Heutsz harus melepas Snouck Hugronje untuk masuk, mencatat, dan merusak dari dalam kehidupan (elite-elite pejuang) Aceh, maka dengan jabatan yang sama, yakni Penasihat Pemerintah untuk Urusan Pribumi, DR Rinkes oleh Gubernur Jenderal Idenburg ditugaskan mengontrol, mencatat, memojokkan, dan menumbangkan—bukan banyak orang, tapi seorang saja. Pada 23 Agustus 1912, Medan Prijaji dan Tirto memang runduk dan tak pernah tegak lagi untuk selamanya. Ia juga dikenai sangkaan menipu sejumlah orang yang berhimpun di Vereeniging van Ambtenaren bij het Binnenlandsch Bestuur (Perhimpunan Amtenar Pangreh Praja). Dua bulan setelah ditutup, Jaksa Agung Hindia Belanda A Browner menjatuhkan vonis kepada Tirto bersalah telah menulis penghinaan kepada Bupati Rembang.
Dengan mental yang sudah patah, kalis dan utang yang bertumpuk, ia pun dibuang ke Ambon. Sepulangnya dari sana, Tirto menjadi manusia sebatangkara yang digilas gelombang pergerakan yang dibangunnya susah payah.
Lima tahun kehidupan Medan Prijaji berkalang di medan pertempuran. Tapi bukan dengan cara-cara tradisional sebagaimana angkatan Pangeran Diponegoro dan Teuku Umar, melainkan dengan tradisi daya cetak yang menyebarluas dan terang-terangan. Daya cetak inilah yang menjadi pembatas luruhnya kurun feodalisme dan bangkitnya tradisi politik modern.
Setelah kejatuhan Tirto, Rinkes pun menulis surat kepada Gubjend Idenburg.
“Pers pribumi di waktu-waktu belakangan sama sekali tidak menimbulkan alasan serius tertentu untuk mengeluh (di waktu-waktu semasa Tirto Adhi Soerjo hal itu lebih gawat).
Rinkes tahu betul peta pergerakan dan isi perut koran-koran pribumi pada masa itu, karena menyusup dalam tubuh Sarekat Dagang Islamijah, tentu tak berkomentar kosong atas habisnya koran-koran pribumi yang membahayakan pemerintah. Suratnya itu bertarikh 1915.
Namun Rinkes kurang awas. Dikiranya dengan memandulkan Samandhudi dan R Goenawan (redaktur Medan Prijaji dan menyerobot Hotel Medan Prijaji menjadi miliknya), semangat perlawan Tirto sudah punah. Rinkes kurang berhitung bahwa Tirto memiliki murid yang tak seperti watak Goenawan, di mana kepada si murid itu telah ditanamkan bibit radikal di Medan Prijaji yang kemudian membuat pemerintah kolonial kalang kabut karenanya. Dia adalah Mas Marco Kartodikromo. Demikian dikutip dari buku ‘Tanah Air Bahasa, Seratus Jejak Pers Indonesia’.
(Tuty Ocktaviany)