YOGYAKARTA - Pemberian status bebas bersyarat oleh Ditjen Pemasyarakaran terhadap mantan Jaksa Urip Tri Gunawan disesalkan banyak pihak. Tak terkecuali dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum (FH) Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
"Itu enggak benar," kata Peneliti Pukat FH UGM Hifdzil Alim pada wartawan, Rabu (17/5/2017).
Pengamat yang sekaligus dosen hukum itu menilai langkah pemerintah, dalam hal ini Ditjen Pemasyarakatan perlu dipertanyakan. Jika perlu, kata dia, diuji materi keputusan pemerintah dalam pembebasan bersyarat tersebut.
"Kasusnya Urip ini pembebasan narapidana, bukan pemberian remisi, beda. Di situ kekeliruan Dirjen Lapas," jelasnya.
Menurut Hifdzil, berdasarkan PP Nomor 28 Tahun 2006 tentang remisi dijelaskan bahwa remisi bisa diberikan jika terhukum sudah menjalani 1/3 masa tahanan. Untuk pidana khusus, remisi diberikan harus ditambah beberapa syarat, misalnya mau sebagai justice collabolator atau membantu penyidik menemukan keterlibatan pihak lain dalam suatu kasus.
"Nah, kasusnya urip itu dibebaskan, bukan diberi remisi," jelasnya.
Saat ditanya apa langkah yang akan di lakukan Pukat UGM melihat kekeliruan yang dilakukan pemerintah, Hifdzil menjawab diplomatis. Menurutnya, keputusan menteri terkait pembebasan bersyarat terhadap Urip perlu diuji materi.
"Bentuk formil aturan yang digunakan untuk pembebasan Urip adalah keputusan menteri. Maka perlu diuji keputusan menterinya. Uji keputusan menteri di PTUN," tandasnya.
Seperti diketahui, mantan jaksa di Kejaksaan Agung (Kejagung), Urip Tri Gunawan divonis 20 tahun penjara karena secara meyakinkan telah bersalah menerima suap atas penanganan perkara BLBI. Vonis tersebut berkekuatan hukum tetap pada 2008.
(Khafid Mardiyansyah)