Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Mengintip Dinginnya Penjara Korea Utara Tempat Mahasiswa AS Terbunuh

Rufki Ade Vinanda , Jurnalis-Rabu, 21 Juni 2017 |18:05 WIB
Mengintip Dinginnya Penjara Korea Utara Tempat Mahasiswa AS Terbunuh
Otto Warmbier saat di penjara Korut. (Foto: Rex Features)
A
A
A

PYONGYANG - Kematian seorang mahasiswa Amerika Serikat (AS), Otto Warmbier memicu pertanyaan terkait sistem pengelolaan penjara di Korea Utara (Korut). Sebagaimana diketahui, pemuda berusia 22 tahun tersebut meninggal setelah dibebaskan dari penjara Korut dalam keadaan koma. Ia ditangkap Otoritas Korut setelah kedapatan menurunkan sebuah papan pesan propaganda.

Sebagaimana diwartakan Mirror, Rabu (21/6/2017), para narapidana di negeri tertutup itu dilaporkan kerap mengalami hal-hal mengerikan ketika menjalani hukuman di balik jeruji besi. Para napi dilaporkan sering mengalami penyiksaan rutin setiap harinya. Bahkan mereka diperintahkan untuk melakukan kerja paksa sekira 12 jam per hari.

Tak hanya itu, mereka juga kerap tak diberikan makanan yang layak sehingga terpaksa memakan hewan seperti tikus dan kodok untuk bisa bertahan hidup. Diperkirakan terdapat lebih dari 200 ribu orang yang menjadi korban penyiksaan oleh kamp pegasingan milik negara yang dipimpin sang diktator muda itu.

Penyiksaan di penjara Korut. (Foto: Liveleak)

Kamp-kamp tersebut diawasi ketat oleh para penjaga khusus yang dilengkapi dengan senjata api, granat tangan serta anjing terlatih. Penyiksaan rutin yang kerap didapatkan narapidana di Korut yakni dipukuli dengan tongkat besi, ditendang, ditampar dan dipaksa untuk berdiri atau duduk tanpa dibiarkan mengubah posisi dalam waktu lama.

Para tahanan hanya diberikan satu set pakaian bahkan hingga mereka menemui ajal. Mereka juga hanya diberi kain lap tanpa disediakan sabun untuk mandi atau kaus kaki untuk menghangatkan badan. Bahkan para perempuan tidak mendapat pakaian dalam serta pembalut.

Pada 2014, seorang perempuan bernama Park Yeon-mi menuturkan, ayahnya mengalami penyiksaan luar biasa setelah dipenjara akibat terlibat kasus perdagangan ilegal. Yeon-mi menyebut, ayahnya kerap disiksa duduk di kursi pesakitan dengan jari jemari yang dijepit secara berulang-ulang.

Salah satu kamp pengasingan milik Korut yakni Kamp 22 ditutup pada 2012 setelah seorang sipir membelot dan melaporkan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang ekstrem termasuk penyiksaan rutin, dan percobaan medis pada manusia secara ilegal. Badan Amnesty Internasional membuat sebuah film dokumenter yang memuat kesaksian para mantan narapidana tentang bagaimana mengerikannya situasi di dalam kamp pengasingan Korut.

Mereka menjabarkan bagaimana para narapidana dipaksa untuk menggali kuburnya sendiri. Para tahanan dibiarkan kelaparan, kerja paksa tanpa kenal waktu dan bahkan para napi perempuan yang kedapatan hamil dipaksa melakukan aborsi.

Lokasi kerja paksa di Korut. (Foto: Reuters)

"Ini adalah tempat yang akan membuat hidup Anda berakhir. Dari terbitnya matahari kau harus sudah mulai bekerja dan tidak ada waktu kapan hal tersebut akan berakhir. Kau bangun pada 03.30 dini hari dan mulai bekerja pada 04.30 hingga petang menjelang. Ketika orangtuaku meninggal karena di kamp pengasingan karena kelaparan, aku tidak punya peti untuk menguburkan mereka dan pada akhirnya aku menggunakan jerami untuk membungkus jasadnya lalu menggendongnya ke tempat penguburan," ujar Yeon-mi yang menghabiskan sembilan tahun di kamp pengasingan.

Tak jarang keturunan para narapidana turut dipenjarakan akibat kesalahan orangtuanya. Seorang mantan narapidana lainnya menyatakan, ia perlu berjalan sejauh 20 kilometer (km) untuk menggarap ladang tempat di mana ia diperintahkan untuk bekerja.

"Aku menjadi saksi kejadian mengerikan di mana seorang narapidana lain dipaksa menggali kubur mereka sendiri. Ia kemudian harus berdiri di samping kuburan itu dan dibunuh dengan palu metal. Temanku yang lain mengatakan kalau mereka (penjaga penjara) menggunakan tali untuk membunuh para narapidana dan membunuh mereka," terang mantan narapidana yang tak disebutkan identitasnya.

Seorang mantan Kapten Militer, Kim Joo-il menyebut, permasalahan terkait kelaparan pada narapidana adalah masalah terbesar.

"Saya melihat tumpukan mayat yang meninggal karena kelaparan dibuang tempat umum," kata Kim.

Park Jihyun terpaksa mendekam di penjara setelah kedapatan hendak kabur dari negara tertutup itu menggambarkan, kelaparan yang dialami para narapidana membuat mereka memakan anjing dan ternak milik warga bahkan biji-bijian yang ditemukan dalam kondisi kotor penuh dengan kotoran hewan. Ketika baru saja dijebloskan Jihyun langsung diminta untuk melakukan tes kesehatan.

Park Jihyun. (Foto: Amnesty)

"Wanita yang hamil akan langsung diminta melakukan aborsi atau dikirim ke kamp kerja paksa dan untuk bekerja keras hingga menyebabkan keguguran," terang Jihyun.

Laporan terbaru dari Badan Anti-Perbudakan Internasional juga menunjukkan menyebutkan hal yang senada dengan keterangan para saksi. Para tahanan dilaporkan mendapatkan kekerasan hanya karena alasan sepele seperti berbohong, tidak bekerja cukup cepat dan melupakan kata-kata untuk lagu-lagu patriotik. Laporan tersebut mencatat bahwa lebih dari 90% orang memberi kesaksiannya mengaku mendapati pemukulan atau dipukul saat berada dalam tahanan.

Seorang narapidana lain mengaku dipukul hanya karena ingin ke toilet.

"Aku dipukul satu kali karena aku bertanya kepada salah satu penjaga apakah bisa pergi ke toilet. Ia tidak akan memperbolehkan aku. Tapi aku sangat putus asa sehingga tetap pergi. Aku tertangkap dan dipukul di kepala dengan pistol hingga berdarah, namun tidak mendapat perawatan medis," ungkapnya.

Satu dekade lalu, seorang warga Korut, Lee Soon-ok telah menceritakan kepada Kongres AS bagaimana kejamnya penjara di Korut. Kala itu, ia dipaksa untuk memakan tikus untuk bertahan hidup.

(Rifa Nadia Nurfuadah)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement