Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Simak! Ini 6 Alasan Pasal Verifikasi Parpol dalam UU Pemilu Layak untuk Digugat

Fahreza Rizky , Jurnalis-Selasa, 15 Agustus 2017 |13:48 WIB
Simak! Ini 6 Alasan Pasal Verifikasi Parpol dalam UU Pemilu Layak untuk Digugat
Ilustrasi (Foto: Shutterstock)
A
A
A

JAKARTA - Beberapa pasal dalam Undang-Undang Pemilu yang baru saja disahkan oleh DPR kembali dipermasalahkan sejumlah pihak. Tak hanya aturan soal presidential threshold saja yang dipermasalahkan, tetapi juga aturan terkait verifikasi partai politik.

Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu mengatur partai politik peserta pemilu ditetapkan atau lulus verifikasi oleh KPU. Sementara Pasal 173 ayat (3) partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai partai peserta Pemilu.

Artinya, partai-partai peserta pemilu 2014 tidak perlu verifikasi ulang. Hal inilah yang akhirnya menjadi polemik, di mana penggugat merasa tidak mendapatkan keadilan dengan adanya 'pilih kasih' verifikasi tersebut.

Setidaknya ada enam alasan Pasal 173 UU Pemilu soal verifikasi parpol layak untuk digugat. Alasan pertama, yakni menurunnya kualitas demokrasi bilamana verifiksi tidak berlaku sama untuk semua parpol. “Sebaiknya jangan diskriminatif begitu, seperti ada perlakuan istimewa kepada parpol lama,” kata Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago, saat dikonfirmasi, kemarin.

Pangi melanjutkan, alasan semula tidak perlunya verifikasi bagi parpol lama adalah untuk menghemat biaya. “Berapa persen sih yang mau dihemat?” sindirnya.

Menurut Pangi, ini bukan perkara parpol lama atau parpol baru, melainkan bagaimana harus equal. “Mau baru, mau lama, ya harus diverifikasi,” tegasnya.

Alasan kedua, yakni berubahnya dinamika politik. Perubahan inilah yang harus dicek kembali melalui verifikasi dalam rangka mendapatkan tiket Pemilu 2019. Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Profesor Syamsuddin Haris mengatakan, pengecekan ulang kepengurusan dilakukan untuk memastikan kesiapan parpol yang dalam kurun waktu lima tahun terakhir mengalami dinamika politik dan fluktuasi kepercayaan masyarakat.

“Mestinya yang (parpol) lama juga diverifikasi ulang sebab mereka bisa saja sudah ditinggal oleh pengurusnya, anggotanya akibat kekecewaan terhadap tingkah laku politisi atau parpol bersangkutan,” ujar Syamsuddin kepada SINDO.

Alasan ketiga, yakni verifikasi yang diikuti oleh semua parpol, baik lama ataupun baru, sangat sesuai dengan asas penyelenggaraan pemilu yang adil.

"Saya rasa demi asas keadilan semua harus diverifikasi, baik partai lama yang pernah bertarung di 2014 ataupun partai yang baru muncul," kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin.

Karena itu, pengajar Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) ini menilai langkah sejumlah parpol menggugat pasal-pasal dalam UU Pemilu sudah tepat. "Karena satu-satunya cara untuk membatalkan pasal terkait verifikasi partai politik adalah dengan mengajukan gugatan ke MK," ujar Ujang.

Alasan keempat, yakni berubahnya geopolitik. Indonesia memiliki jumlah provinsi yang berbeda antara tahun 2014 dengan 2019. Artinya, ada perubahan, penambahan, atau pengurangan, kepengurusan suatu parpol yang harus didata ulang melalui proses verifikasi.

“Terjadi ketidakadilan karena parpol-parpol baru secara otomatis akan melalui proses persyaratan yang lebih berat, mengapa? Karena dalam kurun waktu 2014 sampai sekarang telah terjadi banyak perubahan, contohnya dulunya Indonesia memiliki 33 provinsi sementara sekarang ada 34 provinsi,” kata Christophorus Taufik, Ketua Bidang Hukum dan HAM Partai Perindo.

Artinya, lanjut Christ, ada perubahan kriteria untuk memenuhi syarat lolos verifikasi. “Lima tahun itu pasti terjadi dinamika di mana-mana, tidak bisa hasil verifikasi 2014 menjadi patokan untuk Pemilu selanjutnya, harus dikroscek lagi,” tuturnya.

Alasan kelima, yakni verifikasi faktual terhadap parpol yang sudah berbadan hukum sangat membuang-buang waktu alias mubazir. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, KPU sebagai penyelenggara pemilu seharusnya hanya melakukan verifikasi administrasi.

Pasalnya, verifikasi faktual sebenarnya sudah dilakukan oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia pada saat pendirian partai. Verifikasi faktual oleh KPU adalah bentuk pengulangan kerja yang sifatnya mubazir dan hanya membuang energi dan biaya yang sangat besar, baik bagi KPU, kata dia yang melakukan verifikasi maupun bagi partai poltik yang diverifikasi.

"Aneh sekali, satu hal yang sama tapi dikerjakan dua kali oleh dua institusi yang berbeda," tandas Dasco.

"Menurut Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU Ini, tugas KPU hanya melakukan verifikasi administratif bukan faktual. Jadi sebenarnya pada Pemilu 2014 lalu KPU juga tidak perlu lakukan verifikasi faktual," terangnya.

Alasan keenam, yakni aturan verifikasi parpol dalam Pasal 173 UU Pemilu inkonstitusional. Sebab, sebelumnya sudah ada putusan MK yang menyebutkan bahwa verfikasi itu harus diikuti oleh semua parpol tanpa terkecuali.

"Menurut saya aturan verifikasi partai hanya diberlakukan pada parpol baru merupakan bentuk pengaturan yang inkonstitusional. Karena sebelumnya telah ada putusan Mk Nomor 52/Puu-x/2012 bahwa melalui putusan MK tersebut secara substansi yang diwajibkan verifikasi adalah seluruh parpol baik parpol baru maupun parpol lama yg ikut dalam pemilu," kata Peneliti KoDe Inisiatif Adam Mulya.

Seperti diketahui, meski belum resmi diundangkan, gugatan atas UU Penyelenggaraan Pemilu sudah banyak diajukan ke MK. Khusus untuk pasal verifikasi parpol, sudah ada Partai Islam Damai Aman (Idaman) yang telah mengajukan gugatan pada 8 Agustus 2017 lalu.

(Ranto Rajagukguk)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement