Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Petaka Air Sungai Brantas yang Tak Lagi Bermutu

Hari Istiawan , Jurnalis-Rabu, 06 September 2017 |16:00 WIB
Petaka Air Sungai Brantas yang Tak Lagi Bermutu
Industri di hilir Sungai Brantas (Hari Istiawan/Okezone)
A
A
A

Sejauh ini, KLKH belum menetapkan AOX untuk industri pulp dan kertas, sehingga riset menggunakan baku mutu German untuk air limbah sebesar 0.1 miligram per liter dan hasilnya lima industri yang diteliti konsentrasi AOX melebihi baku mutu. (Lebih jelasnya lihat tabel)

“Penetapan dan pengendalian AOX ini penting karena sifat racunnya tidak hanya berbahaya bagi lingkungan, tapi juga organisme akuatik, serta dapat berdampak terhadap kesehatan manusia,” ujar Riska kepada Okezone.

 Sumber: Ecoton dan IndoWater Cop

Keterangan: industri yang terdapat dalam tabel merupakan industri pulp dan/ kertas Mikroplastik dan AOX termasuk dalam kategori Senyawa Penganggu Hormon (SPH).

 Manajer Program dan Penelitian Ecoton, Daru Setyorini menyebutkan sumber-sumber pencemaran di sepanjang Sungai Brantas terbagi dalam tiga kawasan, yakni hulu, tengah, dan hilir. Di bagian hulu bersumber dari penggunaan pestisida yang berlebihan dan juga limbah domestik rumah tangga seperti detergen, popok bekas, dan sampah rumah tangga yang tidak dibuang ke TPA.

Di bagian tengah dipengaruhi industri seperti gula dan kertas. Limbah industri ini juga sering menjadi masalah. Apalagi pengolahan limbah industri, menurutnya, belum menjadi prioritas dan sering “kucing-kucingan” dengan penegak hukum.

Di bagian hilir, yang paling parah karena sekitar 60 persen sumber pencemarannya bersumber dari industri dan 40 persen dari limbah rumah tangga. “Limbah rumah tangga ini terus-menerus setiap hari, sedangkan industri ini kadang tiba-tiba membuang limbah dalam jumlah yang bervariasi,” kata Daru Setyorini.

Data dari Perusahaan Umum Jasa Tirta I, yang salah satu tugasnya mengelola daerah aliran Sungai Brantas, setiap bulan mengeruk ratusan meter kubik sampah dari wilayah Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota Batu) yang terkumpul di Bendung Sengguruh.

Sampah Bendung Sengguruh saja mencapai 100 ribu meter kubik per bulan. “Ini masih dari wilayah Malang Raya saja,” kata Direktur Utama Perum Jasa Tirta I, Raymond Valiant Ruritan dalam kesempatan wawancara medio Agustus 2017.

Deputi Operasional II Perum Jasa Tirta I, Ulie Mospar Dewanto ketika ditemui pada kesempatan berbeda mengklaim kasus-kasus pencemaran di Sungai Brantas menurun. Meski begitu ia mengakui ada sumber-sumber pencemaran yang belum bisa dihilangkan, baik dari industri maupun limbah domestik. Meski sumbangan pencemaran rutin dari limbah domestik mencapai 50 persen, Ulie menambahkan, “Yang berasal dari industri tidak kalah berbahaya.”

Ia menyebut, karakteristik sumber pencemaran industri memang secara tiba-tiba dan dalam jumlah besar, waktunya pun singkat. “Curi-curi buang air (limbah) yang tidak melalui olahan. Kewalahannya kami di situ,” katanya.

Tak heran berdasarkan data kualitas air DAS Brantas hasil pemantauan rutin Perum Jasa Tirta I selama 2012-2016, dengan parameter utama yang diukur adalah parameter pencemar organik, antara lain kadar oksigen terlarut atau dissolved oxygen (DO), menunjukkan kualitas baku mutu beragam.

Pada bagian hulu, mulai Waduk Sutami, Kabupaten Malang sampai Jembatan Tambangan Kesamben, Blitar, parameter DO tidak memenuhi baku mutu air kelas 2, sesuai peruntukan kelas airnya, yang mempersyaratkan DO di atas 4 miligram per liter.

Sedangkan kualitas air mulai Brantas tengah, di Jembatan Ngrombot, Kabupaten Nganjuk hingga Brantas Hilir di Cangkir Tambangan, Gresik, kualitas air menunjukkan peningkatan signifikan. Namun, di bagian hilir mulai dari Bambe Tambangan, Gresik, sekitar muara Kali Tengah, hingga Jembatan Petekan, Surabaya, parameter DO tidak memenuhi baku mutu air kelas 2 sesuai peruntukan kelas airnya. Sebabnya tak lain parameter DO menunjukkan di bawah 4 miligram per liter.

 

Data Kualitas Air 2012-2016 yang dikeluarkan Perum Jasa Tirta I

Sumber: Perum Jasa Tirta I

 Koordinator Nasional IndoWater CoP, Riska Darmawanti menambahkan, tidak hanya limbah industri, pestisida dalam perairan adalah permasalahan yang sangat serius, terutama dalam air tanah. Sebab, kecepatan degradasi pestisida dapat berkisar antara beberapa bulan. Tetapi paling umum proses degradasi membutuhkan waktu tahunan hingga ukuran dekade. Lantaran air tanah adalah lingkungan yang bebas oksigen, sehingga kurang efektif untuk mendegradasi pestisida kimia.

Keberadaan pestisida pada air permukaan, menurut Riska, meski dalam konsentrasi yang sangat rendah, akan membahayakan siklus hidup organisme akuatik, seperti alga dan ikan. Mengonsumsi dalam jangka panjang air minum, buah, dan sayuran yang mengandung pestisida, meski dalam konsentrasi yang sangat rendah meningkatkan risiko kesehatan, seperti kanker.

Karena itu, ia menegaskan pencemaran air permukaan seharusnya tidak dikelola dengan sambil lalu. “Pencemaran baik pestisida maupun senyawa lainnya, mengurangi kebermanfaatan sungai dan sumberdaya biologisnya,” katanya.

Riska menyebut, ada penelitian yang menemukan kandungan dichloro diphenyl trichlorethane (DDT) yang termasuk dalam kelompok pestisida oil concrentrat (OC). Pestisida ini kelompok senyawa hidrokarbon terklorinasi yang digunakan untuk pengendalian hama dan nyamuk tahun 1940 hingga 1960. Yang saat ini penggunaannya sangat dibatasi untuk pengendalian hama agrikultur.

Pelarangan penggunaan DDT sudah dilakukan semenjak tahun 2007 melalui Permentan Nomor 02/PerMenTan/OT.140/21/2007. “Namun monitoring terhadap residu, pengendalian aplikasi dan peredarannya sangat lemah,” ujarnya.

Penelitian DDT di sekitar hulu Sungai Brantas (Kota Batu) yang dilakukan Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan (Pusarpedal) pada 2012 menunjukkan, metabolit DDT terdeteksi di atas limit deteksi alat. Meski dilarang, kenyataannya petani masih menggunakan DDT. “Ini yang berbahaya,” kata Riska.

Tak heran jika dalam dalam laporan Statistik Kementerian KLHK Tahun 2015 yang diterbitkan pada tahun 2016 menunjukkan bahwa Sungai Brantas mulai tahun 2013-2015 statusnya tercemar berat.

Tabel Status Mutu Air 2013-2015 di Jawa Timur

 

Sumber: Statistik Kementerian KLHK Tahun 2015

 Daru Setyorini tak heran dengan status ini. Mengutip data tahun 1999 yang diperoleh dari Perum Jasa Tirta I menyebutkan total beban pencemaran Sungai Brantas mencapai 330 ton per hari. Rinciannya limbah domestik sebesar 205 ton per hari, dan limbah industri mencapai 125 ton per hari.

Jika dilihat per wilayah, sumbangan limbah domestik di Brantas Hulu mencapai 127 ton per hari dan Brantas Hilir 78 ton per hari. Sedangkan limbah industri di Brantas Hulu sebanyak 49 ton per hari dan di Brantas Hilir sebesar 76 ton per hari. Limbah ini mencemari sungai yang panjangnya kurang lebih 320 kilometer dan menghidupi sekitar 16 juta jiwa penduduk di 9 kabupaten dan 6 kota. Di antaranya, Kota Batu, Kota Malang, Kabupaten Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, dan Mojokerto, yang kemudian bercabang melewati Surabaya hingga ke Gresik. (Bersambung)

(Salman Mardira)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement