WASHINGTON – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dikabarkan akan mencabut Kesepakatan Nuklir Iran yang diteken pada 2015 di Wina, Austria. Pengumuman tersebut disampaikan oleh seorang pejabat senior Pemerintahan AS.
Pejabat yang namanya dirahasiakan itu mengatakan, Trump juga akan menguraikan strategi Negeri Paman Sam yang lebih luas terkait isu Iran. Strategi tersebut diyakini akan lebih bersifat konfrontasi karena di bawah pemerintahan Trump, Washington berulang kali mengkritik perilaku Teheran di Timur Tengah.
Melansir dari Reuters, Jumat (6/10/2017), jika Trump menolak untuk mengesahkan kepatuhan Iran akan kesepakatan tersebut, maka para pemimpin di Kongres AS hanya memiliki waktu 60 hari untuk memutuskan apakah akan menjatuhkan sanksi baru, yang ditangguhkan sesuai kesepakatan, terhadap Iran atau tidak.
Sebelumnya, seorang pejabat juga membocorkan bahwa Pemerintah AS tengah mempertimbangkan penetapan 12 Oktober untuk Presiden Trump berpidato mengenai Iran. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada keputusan final yang diambil.
Presiden Trump sejak lama dikenal mengkritik Kesepakatan Nuklir Iran tersebut. Bahkan dalam Sidang Majelis Umum PBB dua pekan lalu, pria berusia 71 tahun itu menyebut kesepakatan nuklir Iran mempermalukan Amerika Serikat.
Kesepakatan Nuklir Iran sendiri sempat dianggap sebagai salah satu pencapaian politik Pemerintah AS di bawah Presiden Barack Obama. Kesepakatan disahkan pada 2015 dalam format 6+1, yakni antara AS, Inggris Raya, Prancis, Jerman, Rusia, dan China, dengan Iran di bawah pengawasan Uni Eropa.
Dalam kesepakatan tersebut, Iran diwajibkan untuk mengurangi program nuklir mereka secara bertahap dengan imbalan berupa pencabutan sanksi. Pada Januari 2016, sebagian sanksi dicabut setelah Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menilai Iran mematuhi kesepakatan tersebut. Namun, bagi Trump, tindak-tanduk Negeri Para Mullah tetap berbahaya sehingga tidak memenuhi kesepakatan tersebut.
Selain menilai perilaku Iran tetap provokatif dengan meluncurkan rudal balistik, Trump menganggap kesepakatan tersebut tidak menguntungkan kepentingan AS. Sebagaimana diketahui, politikus Partai Republik itu gencar mengampanyekan jargon ‘America First’ yang diejawantahkan dengan mengedepankan kepentingan AS dalam setiap negosiasi kesepakatan.
(Wikanto Arungbudoyo)