Sementara itu, Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran (UNPAD), Muradi mengingatkan pemerintah untuk belajar dari pencurian data di Malaysia. Menurut Muradi, dalam kasus Malaysia, dirinya melihat adanya kemungkinan keterlibatan orang-orang di dalam otoritas dalam kejadian tersebut. Karenanya, pemerintah harus siap untuk menghadapi berbagai potensi kecolongan terkait perlindungan data masyarakat.
"Dengan melihat Malaysia, saya harap kita bisa lebih sadar untuk memproteksi, sadar pentingnya keamanan soal ini," kata Muradi kepada Okezone, Selasa (7/11/2017).
"Saya kira bukan sekadar dijebol ya. Saya kira hal-hal internal error itulah yang kemudian melibatkan orang-orang di dalam juga. Karena kalau melihat polanya kan seharusnya itu terproteksi dengan baik. Itu butuh langkah yang agak serius ya," tambahnya.
BACA JUGA: Ketika Pelaku Cyber Crime Lawan Balik Kebijakan Registrasi Ponsel Lewat Penyebaran Hoax
Untuk memberi perlindungan optimal dan meminimalisir terjadinya kecolongan terhadap data pribadi masyarakat, Muradi mendorong Kemkominfo bersama dengan Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Dukcapil Kemendagri) untuk menggandeng Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai instansi yang memiliki kapasitas untuk melakukan proteksi terhadap data.
"Kominfo dan kementerian terkait harus bekerjasama dengan teman-teman di BSSN untuk memastikan bahwa data itu terproteksi berlapis-lapis. Dengan cara itu, kita bisa memastikan bahwa data tidak disalahgunakan. Yang jadi masalah kan jika disalahgunakan," tutur Muradi.
Selain melakukan antisipasi dengan cara formal --sinergitas otoritas, pemerintah harus menyiapkan langkah-langkah informal dengan merangkul individu-individu peretas untuk bekerja bersama pemerintah melakukan perlindungan terhadap data pribadi masyarakat, sebagaimana yang dilakukan banyak negara maju di dunia.
"Seperti di negara-negara maju, misalnya Amerika Serikat. Itu kan mereka selain menggunakan pertahanan secara formal, mereka juga melakukan informal, misalnya dengan melibatkan para hacker untuk memproteksi itu. Jadi, peperangannya bukan bagaimana mereka angkat senjata, tapi bagaimana mereka bisa melindungi ancaman-ancaman siber terhadap negara," paparnya.